Bulan Ramadan 2010. Selepas salat Ashar, waktunya ngabuburit. Waktu itu, seminggu lagi mau Lebaran. Saya dan keluarga sudah mudik dan berada di Kota Cirebon. Istirahatnya di rumah mertua Jalan Warnasari Kelurahan Kesambi Kota Cirebon.
"Ayah kita ngabuburitnya kemana?" tanya anak-anak.
"Bagaimana kalau kita main biliar? Nanti kalian tidak kerasa menghabiskan waktu. Tiba-tiba sudah Maghrib saja," jawa saya.
"Asyiiiik. Wah bakalan seru nih. Main biliar gitu loh," kata anak perempuan saya, yang waktu itu masih SMP.
Dari rumah mertua di Jalan Warnasari, saya ajak tiga anak jalan kaki menuju ke lokasi main biliar di Jalan Pulasaren. Di situ ada tempat main biliar yang cukup representaif. Dulunya bekas gedung bioskop Paradise.
Saya ajak anak-anak masuk ke gedung biliar tersebut. Beberapa pengunjung yang sudah ada di dalam tempat biliar, memandang ke arah dengan tatapan aneh. Wajar kalau mereka begitu, soalnya selama ini gedung biliar konotasinya dekat dengan tempat yang negatif. Sementara saya ke situ bawa anak-anak.
Seperti pengunjung lainnya, saya pun minta pesan meja biliar. Anak-anak sangat antusias menyodok bola. Apalagi kalau bola yang diarahnya masuk ke lubang. Teriakan YES terlontar beberapa kali. Diiringi pula dengan gerakan jingkrak-jingkrak. Keruan saja pemain biliar di meja lain merasa terngganggu.
Benar saja anak-anak sampai lupa sudah berapa kali menghabiskan game. Melihat jam, sebentar lagu masuk waktunya Maghrib. Saya menghentikan permainan. Anak-anak sedikit kecewa. Tapi setelah diberi tahu sudah mau Maghrib akhirnya mereka menerima.
Saya panggil pelayan perempuan yang sedari tapi mengurus meja biliar yang digunakan anak-anak. Kemudian bertanya berapa harus saya membayar. setelah membayar tagihan, saya tidak lupa memberi tips kepada pelayan perempuan tadi. Anak-anak rupanya melihat apa yang saya lakukan.
Tiba di rumah, anak-anak langsung mengadu ke ibunya. "Bu, tadi ayah ngasih uang ke cewek," ujar si bungsu kepada ibunya.