Mohon tunggu...
Anwar Effendi
Anwar Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mencari ujung langit

Sepi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pulang Sekolah Jualan Kacamata, Mengapa Harus Malu

3 Mei 2020   14:03 Diperbarui: 3 Mei 2020   14:16 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kacamata. (Thinkstockphotos.com via Tribun-Bali.com)

Keluarga orangtua (almarhum) saya termasuk kategori kurang berada. Indikasinya kalau ada bantuan sosial dari desa, nama orangtua saya selalu masuk dalam daftar.

Semasa hidupnya, bapak saya berprofesi sebagai pedagang kaki lima. Pernah jualan baju bekas (loakan) di kawasan Cicadas Bandung. Pas pindah ke Cirebon, sehari-harinya berjualan kacamata di Jalan Karanggetas. Sementara ibu cuma mengurus anak-anak di rumah.

Saya waktu sekolah di jenjang SMP, sering menemani bapak berjualan kacamata. Sepulang sekolah di kawasan Kanoman, saya jalan kaki dan mampir di lapak kaki lima milik bapak.

Tahun 1981, pedagang kaki lima di Jalan Karanggetas Kota Cirebon masih bisa dihitung dengan jari. Selain bapak saya yang berjualan kacamata, ada juga pedagang topi, pedagang kaset, tukang sol sepatu, tukang isi ulang gas korek api, dan seorang lagi sama seperti bapak berjualan kacamata. Total cuma ada enam orang pedagang kaki lima.

Karena setiap hari pulang sekolah mampir di lapak kaki lima bapak, akhirnya saya tertarik juga ingin jualan kacamata. Saya sampaikan keinginan itu kepada bapak, yang akhirnya memberi persetujuan.

Awalnya saya sisihkan uang jajan dan dibelikan satu dan dua kacamata, kemudian dititipkan di lapak bapak. Ternyata, kacamata yang saya beli dari kulakan dan dititipkan ke bapak, sering menjadi pilihan pembeli. Uang dari pembeli saya belanjakan kacamata lagi.

Seterusnya jumlah kacamata dagangan saya yang dititipkan ke bapak, semakin hari semakin banyak. Bapak menyarankan saya untuk bikin lapak sendiri. Cari lokasi yang strategis tapi masih di kawasan Jalan Karanggetas. Saya setuju atas saran bapak itu.

Mulailah dari saat itu, sepulang sekolah saya menjadi pedagang kaki lima berjualan kacamata. Lokasi yang saya pilih di depan Rumah Makan Padang Sinar Budi. Dulu rumah makan itu berhadapan dengan Markas Kepolisian Wilayah (Mapolwil) Cirebon di Jalan Karanggetas.

Sekarang bangunan itu sudah berubah semua. Bahkan bekas lokasi Mapolwil Cirebon jadi bangunan super market Surya. Sementara salon kecantikan tempat bapak saya mangkal di perempatan Jalan Karanggetas-Jalan Pekarungan-Jalan Pagongan sudah berubah menjadi Hotel dan Toserba ASia.

Kenangan tak terlupakan

Ada beberapa kenangan yang tidak bisa saya lupakan selama menjalani profesi pedagang kacamata, sepulang sekolah. Pertama, saya selalu punya uang setiap hari dari penjualan kacamata. Di hari pertama saya berjualan saja, sudah laku dua kacamata.

Saya tidak pernah malu, pulang sekolah mangkal di Jalan Karanggetas menjajakan kacamata. Justru yang ada rasa senang, masih sekolah kelas satu SMP sudah memiliki uang sendiri. Mau beli apa saja, pakai uang sendiri. Dari hasil jualan kacamata, saya bisa beli sepeda. Tidak tanggung-tanggung bisa beli dua sepeda, yang satu buat adik. Harga sepeda waktu itu masih Rp 25.000.

Mau beli apa lagi? Beli bola sepak yang dulu dikenal dengan sebut bliter, saya pakai uang sendiri. Harganya cuma Rp 5.000,00. Hobi juga main bulutangkis, sampai juara dua tingkat tujuhbelasan, modalnya punya raket beli sendiri. Saya beli merek Yonex Blaken seharga Rp 14.000,00.

Jangan ditanya lagi kalau beli keperluan sekolah. Semacam tas, sepatu, dan baju seragam. Semua pakai uang sendiri tanpa merepotkan orangtua. Walau kehidupan orangtua saya sangat pas-pasan, namun masa itu saya sudah bisa hidup mandiri. Itulah kenangan pertama selama menjadi pedagang kaki lima, tiap hari selalu memegang uang.

Ilustrasi pedagang kacamata. (JIMMY RAMADHAN AZHARI via KOMPAS.com)
Ilustrasi pedagang kacamata. (JIMMY RAMADHAN AZHARI via KOMPAS.com)
Kenangan kedua yang tidak pernah terlupakan, keberadaan saya sebagai pedagang kaki lima cilik, terendus oleh wartawan. Mungkin bagi wartawan, keberadaan saya, sepulang sekolah yang masih mengenakan seragam langsung berjualan kacamata, sangat menarik. Waktu itu ada dua wartawan yang mewawancarai saya. Keesokan harinya saya ada dalam pemberitaan koran Berita Buana terbitan Jakarta dan koran lokal Pikiran Rakyat Edisi Cirebon.

Senangnya minta ampun. Dulu media massa sangat sedikit. Jadi kalau masuk dalam pemberitaan, perasaan jadi yang paling terkenal. Apalagi Cirebon sebagai kota kecil, mudah sekali informasi mengalir. Mungkin ada efeknya juga dengan masuk koran, jualan saya makin laris.

Lucunya lagi, seusia SMP kelas satu, saya kemudian tertarik langganan koran dan majalah. Saya juga kurang paham kenapa waktu saya jatuhkan pilihan langgan koran Pos Kota dan majalan HAI. Bayar langganannya, ya dari jualan kacamata. Mungkin saya tertarik koran Pos Kota, karena ada lembaran bergambarnya. Yang sangat ikonik Doyok dan Ali Oncom. Sementara berlangganan majalan HAI, karena isinya seputar remaja. Saya berlangganan majalah HAI, dari mulai berlogo hai sampai berubah HAI.

Meletusnya Gunung Galunggung
Terkait jualan kacamata yang makin laris, ini merupakan kenangan ketiga yang tidak bisa saya lupakan. Ada dua momen, bagaimana kacamata saya yang terjual hingga dalam jumlah banyak. Pertama saat terjadi peristiwa meletusnya Gunung Galunggung di Tasikmalaya tahun 1982. Kejadian itu membuat banyak orang membeli kacamata.

Letusan Gunung Galunggung tahun itu memang dahsyat sekali. Debunya setiap hari mengotori Kota Cirebon. Keruan saja, mata orang riskan terkotori debu. Tidak heran membeli kacamata menjadi alternatif perlindungan mata. Peristiwa itu menjadi berkah bagi saya. Setiap hari bisa lebih dari lima kacamata yang terjual.

Masa laris lainnya dalam penjualan kacamata, yakni saat memasuki Bulan Ramadan. Kalau sudah masuk ibadah puasa, itu merupakan masa panen saya mengeruk keuntungan. Banyak orang yang ingin penampilannya lebih bergaya di saat Lebaran. Salah satu caranya dengan membeli kacamata.

Pemasok (bandar) kacamata yang menjadi kulakan saya merupakan orang Padang yang tinggal di Jakarta. Dia mengaku bernama Maramis. Tapi saya terbiasa memanggil Abang saja. Seminggu sekali dia mendatangi lapak saya. Tapi kalau memasuki Bulan Ramadan, dia bisa dua kali mendatangi lapak saya dalam seminggu. Dia seperti mengetahui, stok kacamata saya cepat menipis dan menawarkan kembali kulakan.

Tahun 1981 harga kacamatan masih sangat murah. Di tingkat kulakan, kalau saya belanja, harganya berkisar antara Rp 600,00 sampai Rp 900,00. Itu tergantung model dan kualitas materinya. Maka di level saya sebagai pedagang, penjualan kacamata itu dilepas dengan harga Rp 1.000,00. Ada selisih antara Rp 400,00 sampai Rp 100,00 yang menjadi keuntungan saya.

Jadi saya jual kacamata dengan harga rata-rata Rp 1.000. Makanya di zaman itu sangat terkenal dengan istilah kacamata cengdem. Itu singkatan dari seceng (seribu) dipake adem.

Pengalaman sebagai pedagang kaki lima itu sampai sekarang masih melekat. Apalagi kalau musim reuni, ada pertanyaan baku dari teman-teman sekolah dulu: "Anwar masih jualan kacamata nggak?". (Anwar Effendi)***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun