Rupanya dia pedagang sarung. Dia membawa tas ukuran sedang yang berisikan sarung aneka corak. Sementara tangan kanannya membawa tiga sarung yang masih dikemas dalam plastik.Â
Kepada saya bapak tadi menawarkan sarung dengan nada memelas. Saya sempat tak menghiraukannya, karena dipikir-pikir mengapa harus beli sarung, karena di Bandung juga banyak.
Namun bapak tadi begitu gigih membujuk saya. Dan ada kata-kata dari dia yang membuat saya terhenti dan memperhatikannya. "Pak beli sarung ini. Biar besok bisa shalat Jumat pakai sarung," katanya.
Dalam hati saya bergumam. Betul juga besok hari Jumat. Celana panjang yang saya kenakan hari ini belum tentu bersih dan suci. Akhirnya saya mulai tergoda oleh tawaran pedagang sarung. Sambil iseng saya bertanya berapa harga sarung itu.
"Biasanya saya jual 200 ribu. Tapi ke bapak biar cuma 150 ribu saja," katanya.
Gubraaaak. Beli satu sarung Rp 150.000,00? Di Bandung saya biasa beli sarung cuma Rp 30.000,00.
Kepalang sudah bertanya dan melihat mimik bapak penjual sarung yang memelas, saya sebenarnya sedikit terpaksa membeli sarung tersebut. Tapi ingat pesan orangtua, biasakan niat menolong orang, jangan berpikir macam-macam.
Jadilah saya membeli satu sarung. Saya sengaja memilih corak yang agak kalem, walau kalau dibandingkan dengan sarung-sarung di rumah, tetap saja terlihat mencolok. Keesokan harinya, saya buka kemasan sarung. Saya agak kaget, kok bahannya agak keras ya. Jangan-jangan saya tertipu, sarung macam apa ini.
Namun, saat saya kenakan dan berangkat ke Masjid Islamic Center Samarinda ungtuk shalat Jumat, diluar dugaan sarung itu terasa adem. Saya nikmat sekali mengenakannya. Sampai sekarang saya masih suka memakai sarung yang sudah berusia 12 tahun itu. Inilah sarungku, mana sarungmu.(Anwar Effendi)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H