(Sebuah review diskusi publik “Konflik Budaya”)
Mengambil pelajaran mengenai kasus sengketa Delta Sungai Mahakam, sebuah permasalahan yang sebenarnya hanya berbeda setting tempatnya dengan banyak masalah di negeriini, konflik lahan. Agaknya menjadi sebuah hal yang pelik ketika permasalahan tersebut menjalar kepada konflik horizontal di masyarakat. Bagaimana haltersebut bisa terjadi di tengah tatanan masyarakat yang sebelumnya begitu harmonis? Benarkah hal tersebut hanya perkara lahan semata?
Sebagaimana seluruh tempat di muka bumi ini, kelompok manusia memilih daerah yang subur dan cukup dengan air sebagai awal terbentuknya masyarakat. Daerah aliran sungai Nil, sungai Eufrat, Tigris dan beberapa lagi berdekatan dengan sumber-sumber air yang tak habis. Begitu juga di Indonesia, tempat dengan karakteristik yang sama menjadi daerah yang diperebutkan untuk diduduki pusat kerajaan dan pemerintahan. Demikian dengan delta Mahakam, tempat strategis untuk menjalani kehidupan. Awalnya tempat tersebut secara alamiah didiami oleh beberapa orang yang bertahan hidup dengan mengambil manfaat dari alam. Hingga datangnya kolonialisme di Indonesia, kumpulan kelompok manusia yang kemudian menjadi komunitas tersebut didorong untuk mencatatkan tanah yang mereka miliki. Saat masa-masa kemerdekaan, pemerintah kemudian ambil alih peranan, dengan undang-undang yang dimilikinya tanah di bagi dua menjadi kawasan yaitu kehutanan dan non kehutanan. Konflik horizontal tercipta berkaitan dengan penguasaan lahan garapan. Sampai di sini masalah kemudian seperti bola salju yang menggelinding dibawa membesar dan sulit mencari akar intinya.
Sejatinya apa yang terjadi dalam konflik multikultarisme adalah persoalan relasi kuasa pengetahuan. Seperti halnya kelompok agama tertentu yang mengecam kelompok agama yang lain terkait dengan apa yang mereka lakukan. Berbekal pengetahuan yang lebih dari masyarakat grassroot mereka menjadi kelompok yang menentukan segala sesuatu. Dengan sangat mudah akan menunjuk siapa yang salah dan yang benar, hitam putih. Bahkan tidak memberi seruangpun untuk menjadi abu-abu, mencoba pada sebuah relativitas. Kita agaknya tidak terbiasa membuka ruang diskusi dalam rangka kristalisasi wacana tentang apa yang terjadi. Kita lebih suka dengan kemudian memasukkan kelompok yang berbeda ide dalam golongan-golongan yang kita (sendiri) ciptakan.Secara struktural konflik tersebut akan bergeser menjadi sebuah perusakan terhadam sistem sosial yang telah terbangun dalam masyarakat. Tak ada lagi penghargaan atas perbedaan, penyelesaian dengan kekeluargaan bahkan malah berusaha saling serang. Hal tersebut hanya karena pembiaran-pembiaran yang disadari atau tidak kita lakukan sendiri.
Kembali pada permasalahan mengapa konflik atas tanah di beberapa daerah kemudian memanas dan belum menemukan titik terang. Dalam faham kelompok masyarakat, tanah adalah manifestasi sebuah kedaulatandan bagian dari cara bertahan hidup. Sedang dalam faham yang lain (pemerintah) ada perkara administratif bahkan terkadang sangat yudikatif dalam persoalan ini. Seharusnya kemudian, ada sebuah diskusi yang dibangun dalam rangka menyelesaikan segala persoalan yang terjadikarena ada transfer pengetahuan yang belum selesai diantara keduanya. Relasi kuasa pengetahuan inilah mengesankan keduanya sebagai pihak yang vis a vis dan masalah tak kunjung menemukan win-win solution.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H