Mohon tunggu...
Ita Apulina Tarigan
Ita Apulina Tarigan Mohon Tunggu... profesional -

Aku adalah bagian kabut dan hujan, mengembara hingga ke puncak Deleng Sibuaten..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia Merdeka

10 Oktober 2013   13:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:43 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika Belanda membangun perkebunan di Sumatera Timur, orang Karo adalah sumber gangguan kelancaran perkebunan. Menurut beberapa catatan harian para tuan kebun dan makelaar, orang Karo mereka beri julukan 'vrijman' yang berarti orang merdeka, yang kemudian kita pelesetkan menjadi preman. Kenapa mereka disebut orang-orang merdeka? Yang jelas kalak Karo tidak segan-segan membakar bangsal tembakau dan menolak tunduk pada kolonial, tidak ada yang bisa mengatur mereka bahkan para Sibayaknya, sebab orang Karo tidak mengenal yang namanya feodalisme. Ini juga sebabnya, akhirnya orang-orang kebun itu mendatangkan orang China daratan, orang Jawa dan Batak sebagai kuli. Pengalaman mengajarkan orang Karo tidak bisa mereka andalkan untuk pekerjaan perkebunan selain daripada itu mereka juga takut.

Ketika Datuk Sunggal menghajar perkebunan, saya membayangkan sebuah rasa sakit karena cinta. Di satu pihak, Sultan Deli adalah anak berunya yang mengawini Beru Surbakti dan si anak beru inilah yang menjadi makelaar tanah. Di pihak lain, rasa cinta pada tanah dan masyarakatnya yang dikangkangi oleh kapitalis perkebunan. Tersakiti, karena cinta kalimbubu kepada anak beru tidak mendapat respon yang seharusnya. Cinta tidak memberi jalan keluar, malah memperparah keadaan sebab konsekwensi cinta adalah memberi dan menuntut. Bagaimanapun, Datuk Sunggal harus memilih. Di perjalanan sejarah selama 25 tahun dia berjuang sampai habis, di akhir cerita Datuk Sunggal ditangkap di Nang Belawan oleh pengkhianatan orang Karo sendiri, kemudian di buang ke Jawa Barat hingga matinya. Sakitnya tidak bisa pulang ke tanah kelahiran hingga akhir menutup mata.

Jika kemerdekaan memilih tidak selalu mendatangkan rasa bahagia, lalu kenapa masih banyak orang rela berkorban nyawa demi kemerdekaan? Merdeka tidak berarti secara absolut bebas melakukan apa saja. Merdeka itu, ketika kita dengan sadar membuat suatu keputusan yang bertanggung jawab dalam situasi dimana tidak banyak pilihan. Berani berkata 'tidak' pada sesuatu yang dijejalkan kepada kita sudah menegaskan bahwa kita adalah orang yang merdeka.

Merdeka adalah sebuah paradoks. Merdeka tidak menjamin hidup lebih baik, bahkan bisa jatuh ke dalam lembah sengsara. Tetapi merdeka berarti membebaskan diri dari luka, penindasan agar dalam kemerdekaan itu bisa menentukan dan membuat keputusan sendiri, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk bebas. Bebas menjadi diri sendiri. Itu sebabnya kemerdekaan itu patut diperjuangkan dengan segala resikonya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun