Malam itu kami tiba di Kota Teluk Dalam (ibu kota Kab. Nias Selatan) setelah mengitari beberapa buah dusun untuk bertemu dengan beberapa pelajar yang masih sekolah maupun sudah putus sekolah. Kenapa masih pelajar walau sudah putus sekolah? Karena sampai hari ini mereka masih belajar walau tidak dalam ruang sekolah. Tidak hanya belajar saja tetapi mengajar juga. Bagian pelajar ini akan kuceritakan nanti di bagian lain. Aku hendak mengisahkan petualangan kami setelah makan malam dengan mie instan rebus. Ombak berdeburan mengiringi makan malam kami.
Malam itu kami menginap di rumah merangkap kantor sebuah LSM yang bergerak dalam perlindungan anak. Aku heran juga kenapa tidak ke hotel saja seperti biasa. Rupanya sahabatku sudah merencanakan sesuatu yang seru. Sudah pukul 9, Rudy temanku mengajak keluar. "Mau kemana, Bang? Sudah malam ini," kataku. "Tenang saja, pokoknya nggak nyesal..,"ucapnya. Dengan enggan aku menaiki mobil sambil mataku terbayang bantal yang empuk. Menguap sudah impianku bertamasya ke pulau kapuk.
Mobil menembus gelapnya malam. Tidak ada lampu jalan, pohon karet dan entah pohon apa lagi melambai-lambai di sepanjang jalan. Setengah jam kemudian, mobil mulai menanjak. Kemana ini, tanyaku lagi. "Slow saja, gank. Mantap pokoknya," Rudy memprovokasi lagi. terus menanjak, terus menanjak. Dan....mobil berhenti tepat di sebuah banguna besar dan gelap. Aku melihat lereng bukit ketika turun dari mobil. Dari sini jalan kaki ya, gan, kata Rudy lagi. Gundukan yang kukira bangunan ternyata adalah tangga batu. "Biar semangat, dari kita menghitungnya,' ucap teman yang sudah berbaik hati mengantar kami.
Adrenalinku terasa menaik. Setapak demi setapak, jumlah anak tangga aku lupa, tetapi tidak sampai 100. Wow....kami tepat diatas sebuah gunung. Ya, sebuah jalan lurus membentang di hadapan ketika anak tangga terakhir kami pijak. Sepanjang jalan berderet rumah dari kayu yang ditopang balok sepelukan orang dewasa, malah lebih. Oh, MY GOD! Kami menyusuri jalan itu, di depan masing-masing rumah ada bangku yang terbuat dari batu, ada yang tinggi ada yang rendah. kami tiba di dimpang empat, dua buah jalan lurus saling menyilang. Di dekat situ sebuah rumah besar menjulang tinggi, kayu penopangnya sepuluh kali lipat lebih besar dari rumah-rumah sebelumnya.
"Gank, kampung ini namanya Bawomataluo. Ingat tidak ketika Rizaldi Siagaian mengerjakan Megalitikum Kuantum untuk ulang tahun Kompas? Dia melakukan riset dan melibatkan orang kampung ini," kata Rudy memulai percakapan sambil mengajak duduk di sebuah batu seukuran meja makan yang permukannya licin halus dan dihiasi ukiran bunga-bunga dan sulur daun. Bawomataluao berarti mulut matahari dalam bahasa Nias. Ya...ternyata dari terbit hingga tenggelamnya mentari tepat melintas lurus di atas jalan yang membelah dua kampung.
Kemudian kami berdebat, bagaimana cara orang Nias membawa batu seukuran meja makan ke atas bukit? Jelas sekali disitu tidak ada batu yang besarnya sedemikian? Kata Rudy, mereka cuma tunjuk batu dankemudian batu berjalan ke atas. Aku meledak tertawa. Pasti mereka gotong beramai-ramai, kataku. Lebih tidak mungkin, pasti mereka langsung meluncur di lereng gunung ini, kata Rudy lagi.
Ah...itu tidak penting. Yang jelas, kini batu-batu berukir indah itu masih ada di Bawomataluo. Keindahan purba yang membuatku merenung, betapa kayanya manusia dengan segala pengetahuan dan karyanya. Kekawatiran akan punahnya budaya megalitik di Bawomataluo membuat kampung menjadi sebuah kampung yang dibina dan dibiayai oleh UNICEF. Cobalah berkunjung ke sana, kau akan tahu, betapa indahnya Nias.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H