Setelah bersukur pada Ilahi atas diterimanya judul tesisku oleh dosen penguji tadi pagi, kuayunkan kaki menuju sebuah kampung kecilku, KM 33 di perbatasan Bireuen-Takengon. Mulanya, tujuanku adalah kota mungil Bireuen. Menumpang jasa L.300 di Simpang Surabaya, aku tiba di Kota Juang menjelang isya-beranjak dari Kota Kutaraja tepat saat jarum jam menunjukkan angka tiga.
Selepas menikmati sate Bireuen sebagai lahapan malam dengan harga dua kali lipat dari yang pernah kudapat di Kota Banda, aku ke loket L.300 (tak perlu kusebut apa nama loketnya agar tak dinilai promosi). Sudah menjadi kebiasaan, agen sewa L.300 mulai menarik-narik tas ransel Elginiku begitu melihat aku menuju terminal. "Takengon, Pak," ucapnya.
"Tak sampai Takengon, hanya di 33," balasku.
Sahdan, harga tiket sudah dil antara aku dan agen. Kuperoleh selembar kertas dengan nomor bangku tepat di belakang supir. "Setengah jam lagi kita berangkat," kata agen itu menjawab pertanyaanku tentang keberangkatan.
Tiga puluh menit berlalu, kudatangi agen L.300 yang memberiku tiket. "Kok belum berangkat, Bang?"
"Kita tunggu sewa dua orang lagi ya," katanya.
Aku menunggu lagi hingga lima belas menit selanjutnya agen itu kutegur kembali. "Belum ada sewa, Pak. Sabar dulu ya," ujarnya pula.
"Kalau tak ada sewa sampai tengah malam nanti, apa kita tak jadi berangkat?" ketusku lima belas menit berikutnya. Jam saat itu sudah menunjuk angka sembilan.
"Ya, ini mau berangkat," jawab agen tersebut sembari menambahkan "Saya telpon supirnya sekarang." Agen itu pun lalu meninggalkanku sendiri dalam kepulan asap rokok dari kiri kanan milik penjaja tiket lainnya di kawasan terminal Bireuen.
Kulirik jam di dinding loket itu. Kuniatkan dalam hati akan menegur si agen jika sepuluh menit berikutnya mobil belum juga berangkat. Dugaanku tak meleset. Sepuluh menit berlalu, aku dan tiga sewa lainnya masih ‘ditelantarkan'.
"Bang, saya memang turun di KM 33, tapi saya harus masuk ke dalam lagi berjalan kaki. Ini sudah sangat larut. Jadi berangkat tidak?" celetukku dengan suara mulai meninggi. Dua lelaki lebih muda dariku yang juga sewa dengan mobil yang sama mulai mendukungku sekedar mengucapkan kata "Iya, benar."