Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surat kepada Adik

18 Juli 2011   08:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menulis surat kepada pemimpin, mulai tingkat universitas sampai dengan kepada presiden, agaknya sudah menjadi tren masa kini. Biasanya, penulisan surat kepada pempimpin itu dilakukan menjelang suatu even semisal pemilihan atau untuk mendukung suatu kegiatan.



Demikian halnya menulis surat kepada ayah, ibu, sahabat, dan kekasih, semuanya mungkin dianggap biasa terjadi. Oleh karena itu, tebersit di benak saya untuk menulis surat kepada adik. Adik yang tentunya darah daging kita sendiri. Apa kabar rasanya jika hendak mengungkapkan isi hati melalui surat kepada adik? Bukankah seorang adik mengadu atau mengeluh kepada kakak/abang sudah biasa juga? Maka, inilah surat untuk adikku.

Adik, pada semesta usia yang masih begitu belia, setahun lebih tua dari umur jagung, abang harus meninggalkanmu. Kau hidup bersama orangtua kita di gubug berdinding kapuk. Kakak tentu jadi teman sepermainanmu kala itu. Cita-cita dan kondisi keamananlah yang memisahkan kita. Bukan kehendak Abang, pun bukan kemauan orangtua kita.

Adik, sekali lebaran di usiamu pada tahun ke empat, pernah kita berjumpa. Libur sekolah seakan menjadikan keajaiban untuk kita kumpul dan sua. Namun, pertemuan kali itu tak begitu lama. Seminggu setelahnya, abang harus kembali ke kampung halaman, sedangkan kau tetap di perantauan.

Tahukah kau Adik? Abang bersalah padamu, karena tidak menghitung tahun. Tiba-tiba Abang dengar dari kedua orangtua kita, jua dari kakak, kau sudah tiga bulan di sekolah dasar. Kau naik kelas dua dan tiga pun abang tidak begitu peduli. Kau sibuk dengan sekolahmu, sedangkan abang pun sibuk dengan pendidikan abang kala itu.

Sebuah kabar yang mengagetkan, abang dengar tentangmu tatkala kau tidak naik kelas empat. Tentang pendengaranmu, tentang lidahmu. Berlebih parah tentang perangaimu yang bandelnya subhanallah itu.

Adik, tidak ada yang akan paham pada kekurangan yang kau miliki, tidak siapa pun dari mereka yang asing di sana, kecuali ayah kita, kecuali ibu kita, kecuali kakak kita, kecuali aku, Abangmu. Maka itu, Adik, pahamilah kondisi dan posisi orang lain kendati ia tidak dapat memahamimu.

Adik, seharusnya kini usiamu sudah mengantarkan dirimu ke bangku kuliah semester tiga. Namun, pilihan yang kau ambil, keluar dari sekolah saat masih di jenjang menengah pertama, telah menjadikan dirimu seorang pengangguran dewasa. Sedangkan keahlian, tak satu pun kau miliki, kecuali mengetik SMS, yang dengan SMS itu, banyak orang telah merasa terganggu karena bahasamu yang sulit dipahami itu.

Adik, hentilah membuat orang terganggu. Sekali lagi, tak semua orang dapat memahami kondisimu. Tak seorang pun dapat memahami bahasamu. Tak seorang pun mampu mengerti pendengaranmu. Sedangkan aku, masih mampu memahami dan mengerti kau dengan segala kekuranganmu. Namun, bukan berarti Abang dapat membiarkan orang lain memaki atau sekadar marah di hati. Daripada orang merasa terganggu lalu marah padamu, lebih baik kau, Abang yang marahi.

Adik, kemarahan Abang bukanlah sebuah kebencian. Hanya saja, Abang tidak pernah dapat menerima kau dimarahi, karena kau sudah terlanjur jadi nyawa kedua dalam hidupku ini. Adik, tatkala tak seorang pun dapat memahami kita, tetaplah berusaha memahami orang-orang.

Banda Aceh, 17 Juli 2011

Abangmu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun