Selepas mereguk segelas kopi Uleekareng di warkop Apa Kaoy, saya dan teman saya beranjak mencari makan malam. Kami makan di nasi uduk Peunayong. Selanjutnya, kembali menuju ‘rumah Tuhan’ untuk ibadah isya.
Selesai salat isya, kami tak langsung pulang, melainkan ke Taman Sari. Di taman yang letaknya persis di depan Kantor Walikota Banda Aceh itu sedang berlangsung acara peringatan Hari Jadi Kota Banda Aceh. Aneh mungkin, hari jadi Kota Banda Aceh sebenarnya April, tetapi acara perayaan HUT tersebut digelar walikota pada akhir Mei hingga 2 Juni nanti. Puncak perayaan HUT itu, yang disebut-sebut mengembalikan peradaban kebudayaan Aceh, adalah pemilihan “Agam-Inong Aceh” yang pesertanya dari anak-anak SMA. Program pemilihan “putra dan putri terbaik” Aceh ini punya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh. Lagi-lagi aneh, program kebudayaan kok malah pemiliihan putra-putri, seperti miss Indonesia saja.
Terlepas dari kegiatan dinas dan Pemerintah Kota Banda Aceh itu, saya dan teman saya menikmati keramaian di Taman Sari. Jarang-jarang ada pusat keramaian di Aceh sejak diterapkannya Syariat Islam. Entah karena ini program pemerintah, makanya polisi syariat (WH) tidak kelihatan di pusat keramaian tersebut, saya sama sekali tidak tahu. Akan tetapi, saya melihat banyak pasangan muda-muda berjalan saling rangkul. Selain tangan yang satu melingkar di pundak lawan jenisnya, ada juga yang berpegangan tangan semata sekaligus meremas jari. Biasanya, hal seperti ini jadi ‘santapan’ lezat WH. Namun, malam Minggu itu, sama sekali ‘aman-aman’ saja, 86 kata sandinya.
Agar tak pulang dengan tangan hampa, saya mendekati penjual kaset VCD/DVD. Ternyata banyak DVD dan VCD bajakan dijual di sana. “Beli satu Rp2000, ambil tiga dapat Rp5000,” kata penjaja VCD bajakan itu setengah berteriak, berulang-ulang.
“Ada kaset Dolles Marsael, Bang,” tanya saya. Dolles adalah seorang penyanyi Aceh yang saya kenal namanya sempat membuming di era 80 s.d 90-an. Saya menyukai lagu Dolles yang syair Acehnya kental. Liriknya pun tidak meniru lagu-lagu India seperti kebanyakan penyanyi Aceh zaman sekarang saat membawakan lagunya.
“Wah… Dolles itu nyanyi lama, Bang. Jadi, agak susah. Ambil kaset Aceh yang lain aja Bang. Ada yang Rp7000, ada yang Rp10.000,” sahut penjual kaset itu.
“Lho..kaset bajakan kok sampai segitu harganya. Tadi Abang bilang beli tiga dapat Rp5000.”
“Itu kalau kaset Indonesia, Barat, dan Malaysia, Bang. Kalau kaset Aceh memang mahal, Bang,” jelas penjual kaset itu.
Dalam hati saya, ternyata dia juga menghargai penyanyi lokal. Sayang, malah menjual kaset bajakannya. Karena di kedai itu tidak ada kaset Dolles, saya beranjak ke toko kaset lainnya. Di sana saya dapati sebuah kaset Dolles yang juga bajakan. Harganya Rp15.000. Karena memang sudah lama mencari kaset Dolles, bajakan dengan harga segitu pun saya ambil juga padahal hati kecil saya menolak membeli kaset bajakan.
Sungguh saya kecewa sesampai di rumah. Saat saya nyalakan kaset itu, ternyata penyanyinya bukan Dolles Marsael sebagaimana tertera di sampul kaset tersebut. Seorang anak muda usia 20-an saya lihat memperagakan suara Dolles sambil bergoyang-goyag tak jelas. Menyesal saya tidak meminta tukang jaja kaset bajakan itu memutar terlebih dahulu kaset tersebut di kedainya. Huh… rutuk saya sendiri, sudah bajakan, bukan Dolles pula ternyata yang nyanyi.
Saya mulai berpikir sembari berdoa, semoga kelak ada kebijakan dari pihak berwenang untuk merazia kaset VCD dan DVD bajakan tersebut. Gaya pembajakan yang hanya mengambil suara penyanyi aslinya, tetapi gambarnya (klip) adalah orang lain sangat merugikan, bukan hanya produser dan artisnya, tetapi juga penikmat. Sebagai pencinta musik lokal (Aceh), saya mengutuk keras perlakuan tersebut.
Ternyata, menghabiskan senja di Ulee Lheue telah membuka mata saya melihat dilema kebudayaan kita yang kian luntur. Rasa menghargai yang mulai kurang dan suka menipu seakan menjadi tren masa kini. Di sisi lain, label syariat Islam ternyata tidak berlaku bagi acara yang dibuat oleh pemerintah. Padahal, pusat keramaian dengan permainan anak-anak seperti komedi putar yang ada di Taman Sari hari itu pernah pula dibuat oleh pihak swasta di bawah Jembatan Lamnyong. Namun, WH dan Satpol PP bertindak keras kala itu, karena kegiatan tersebut bukan program pemerintah. Ironis sangat!
Banda Aceh, akhir Mei 2010
Herman RN, penikmat seni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H