Senja telah kami lepaskan di Ulee Lheue. Selesai menjenguk Tuhan di mesjid saksi tsunami itu, kami beranjak ke arah pusat kota Banda Aceh, arah Mesjid Raya Baiiturrahman.
Tanpa terasa, perjalanan kami sampai pada sebuah warung kopi (warkop) di pinggir jalan. Warung kopi itu milik Apa Kaoy, seorang seniman tutur di Banda Aceh. Ia membuka warkop di sana sekitar satu bulan lalu, yang peresmiannya dihadiri segenap seniman, penulis, dan budayawan Aceh.
Warkop itu menyediakan lokasi parkir sekitar satu kali lapangan voli. Pada pojok kanan sebelah belakang warkop ada panggung seluas 7x4 meter. Di panggung itu biasanya ada pementasan berbagai cabang kesenian dari para seniman Aceh, terutama saban Sabtu malam. Namun, malam Minggu kemarin, pementasan yang disebut-sebut Pentas Sagoe itu tidak ada sama sekali.
"Malam ini tak ada yang menyumbangkan acara. Jadi, tidak ada kegiatan pentas sagoe. Maklum, seniman yang manggung kan tidak dibayar, suka rela. Jadi, siapa saja boleh manggung," kata Apa Kaoy, sembari menyebutkan bahwa setiap gelas kopi yang dipesan oleh pelanggan, Rp500 rupiah disumbangkan untuk pergerakan kebudayaan di Aceh.
Mulanya di TBA
Terkait pentas sagoe itu, mulanya digelar Apa Kaoy di Taman Budaya Aceh (TBA). Ia berinisiatif menggelar pentas kecil-kecilan bagi seniman yang mau memperlihatkan kebolehannya. Menurut lelaki yang bernama asli M. Yusuf Bombang itu, pentas sagoe semula diperuntukkan bagi anak-anak muda, baik personal maupun kelompok, untuk uji coba tampil di depan umum.
"Dulu, untuk mentas di Banda Aceh ini susah. Seniman terkendala dengan dana dan fasilitas. Makanya kami gelar pentas sagoe, bagi yang mau coba-coba tampil sebelum mereka memang menyatakan siap untuk diundang dalam berbagai aven. Dalam perjalannya, pentas sagoe kemudian tidak lagi dibatasi bagi pemula. Siapa saja boleh tampil, asal dengan ikhlas, tidak dibayar dan tidak dipungut bayaran," jelas Bombang.
Selepas tsunami, carut-marut pengelolan Taman Budaya Aceh yang mulai minta bayaran kepada seniman yang menggunakan fasilitas gedung TBA, menjadikan pentas sagoe terkendala. Tahun pertama pascatsunami sempat berjalan beberapa bulan. Namun, lambat laun hilang. Karena itu, Apa Kaoy kemudian mencoba mencari jalan lain. Ia berpikir, bagaimana pun pentas sagoe tetap berlangsung meskipun tidak lagi di TBA. Minimal pentas sagoe menjadi sebuah ajang silaturrahmi sesama seniman.
Ide itu akhirnya terwujud dengan berdirinya sebuah warung kopi di Lampaseh Kota, pada JL. Rama Setia, yaitu jalan menuju ke Pelabuhan Ulee Lheue dari raha BNI 46, pusat kota Banda Aceh. Pada warkop itulah pentas sagoe dialihkan dengan mengambil sedikit lahan di pojok belakarang warkop yang mirip kafe sederhana tersebut.
"Malam Minggu (22/5) kemarin, yang terakhir tampil Fikar W. Eda, penyair Aceh yang sudah lama menetap di Jakarta," papar Apa Kaoy lagi.
Kecuali pentas sagoe, warkop tersebut juga menyediakan fasilitas tontonan layar lebar dan wifi gratis. Tak heran, tempat itu bukan hanya dikunjungi para seniman, tetapi juga muda-mudi seusia sekolahan. Terkadang, mereka ke sana membawa laptop, lalu hanya memesan segelas teh manis untuk berjam-jam menikmati selancar gratis di dunia maya. Bagi Apa Kaoy, ini merupakan kebahagiaan tersendiri. [bersambung...]