Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Selepas Senja di Ulee Lheue (1)

30 Mei 2010   04:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:52 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pukul 18.00 WIB untuk wilayah Aceh, matahari masih memperlihatkan kegagahannya. Lima belas menit kemudian, perlahan warna ‘raja siang’ itu berubah memerah. Ketika itu pula, saya bersama seorang teman, Rusdi, sudah berada di Pelabuhan Ulee Lheue, Sabtu (29 Mei).

Sepanjang jalan yang sudah disulap dua jalur menuju pelabuhan Ulee Lheue berjejer pedagang jagung bakar dadakan. Para pedagang ini biasanya memang menjajakan jagung bakarnya menjelang magrib. Dengan meletakkan beberapa meja plastik di pinggir jalan dan setiap satu meja diapit oleh dua kursi plastik pula, menghadap ke arah matahari tenggelam, cukup menjadi modal penarik hati pelanggan, terutama pasangan muda-mudi.

Meja-meja dan kursi dengan ukuran rendah nyaris berjejer sepanjang jalan menuju pelabuhan dimulai dari turunan jembatan depan kantor Polsek Ulee Lheue. Antara meja yang satu dengan meja lainnya hanya renggang sekitar 1-2 meter yang mengesankan pemilik ‘rex sore’ itu satu orang. Padahal, yang punya dagangan jagung bakar tersebut puluhan.

Di tempat itulah orang-orang menghabiskan waktu menikmati senja. Seperti halnya mereka, saya dan teman saya tadi juga demikian. Mengambil posisi di meja paling ujung dekat pintu gerbang pelabuhan, sembari menghadap ke arah laut, kami menikmati jagung bakar yang sudah diberi saos. Di laut, matahari mulai merah saga.

Warna langit sudah jingga tatkala suara wahyu Ilahi sahut menyahut dari corong pengeras suara mesjid dan musalla sekitar Ulee Lheue. Perlahan ada getar di dalam dada, merasa seperti panggilan untuk segera bertemu Tuhan. Di mesjid Baiturrahim Ulee Lheue yang merupakan satu di antara sekian saksi tsunami, kami salat magrib. Mesjid itu adalah saksi tsunami 26 Desember 2004 silam sekaligus saksi kebesaran Tuhan. Tatkala semunya luluh lantak diterjang gelombang laut, mesjid tersebut tetap berdiri kokoh. Di sanalah kami menemui Tuhan kami.

Selepas magrib, saya dan teman kembali ke arah pelabuhan. Beberapa bintang mulai bermunculan. Cahaya temaram bulan yang baru saja melewati masa purnama mengubah warna laut jadi kemilau tujuh warna. Akan tetapi, tak lama kami di sana. Rasa lapar membuat kami segera mencari makan malam. Sepanjang perjalanan, kami nikmati panorama Kota Banda Aceh yang sudah mulai mekar sejak diamuk tsunami. Di depan kuburan massal korban tsunami, misalnya, sudah ada taman bermain. Pamflet namanya tertulis “Taman Kuliner” dengan beberapa permainan anak-anak seperti kereta lingkar, terdapat di sana.

Ironisnya, sebuah semibaliho seukuran satu meter per segi terpajang juga di sana yang menjadikan pemandangan muram. Di papan semibaliho itu ada tulisan “Tanah Ini Belum Dibayar”. Hal ini mengesankan Walikota Banda Aceh yang memiliki program mewujudkan Banda Aceh jadi Bandar Wisata Islami kurang peduli pada ganti rugi tanah. Belum lagi jika ditelusuri surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) seperti kasus taman Water Bom yang tidak jauh berada dari lokasi mesjid Ulee Lheue, yang menurut berita di media beberapa waktu lalu tidak memiliki IMB. Kami terus berjalan ke depan… (bersambung)

Banda Aceh, 29 Mei 2010

Herman RN

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun