Kadang, ketakutan kita terlalu berlebihan seperti berlebihnya keberanian. Keberanian yang berlebihan membuat kita dengan mudah bicara dan membicarakan apa/siapa saja tanpa mengenal ruang dan waktu. Ketakutan berlebihan kemudian tercerna dalam tindakan harus ‘melenyapkan’ sesuatu yang ditakutkan tersebut, termasuk tulisan yang menakutkan.
Inilah kisah yang berlaku begitu. Saat Federasi Timur Raya (FTR) mulai “berani” memposting tulisan-tulisan persuasifnya yang sebagian dinilai banyak orang sebagai keinginan pemecah-belahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), saat itu pula “ketakutan” banyak orang tercipta. Tak terkecuali juru kunci kompasiana.com. Bersama ketakutan runtuhnya NKRI, si juru kunci membekukan akun FTR di rumah sehat kompasiana.
Si juru kunci tidak ingin disebut seperti kucing bersembunyi di balik karung setelah makan ketimun bengkok, maka juru kunci kompasiana memaparkan musabab pembekuan akun FTR. Tulisan penjelasan bermusabab itu mendapat respon sangat banyak dari pembaca/pemain kompasiana.com. Kendati dari para pemberi komentar masih ada yang tak setuju, tetapi yang menyatakan kesetujuan dengan keputusan admin lebih banyak dibanding yang tidak setuju. Singkatnya, postingnya FTR selama ini, terutama Sumpah Perjuangan Timur dianggap sangat berbahaya. Sekali lagi, “ketakutan” telah mengalahkan “keberanian” FTR.
Bagi juru kunci kompasiana, alasan pembekuan akun tersebut sudah memang harus dilakukan. Alasannya, ‘pendekar’ FTR tidak ‘jantan’ untuk menyebutkan namanya. Mereka juga tidak mau diajak diskusi—kata admin: sudah pernah diajak diskusi. Dalam dalihnya, si juru kunci rumah sehat kompasiana juga menyebutkan akan membekukan akun orang-orang yang postingannya menyerempet SARA. Sayangnya, tidak dijelaskan dengan detail, maksud SARA tersebut.
Lihat saja, bagi sebagian orang, ada anggapan setiap postingan berbau (misalnya) agama—walaupun hanya sedikit—sudah dikatakan SARA. Akan tetapi, bagi orang lain lagi itu biasa-biasa saja. Karenanya, menurut saya, garis pagar SARA yang dimaksudkan oleh si juru kunci belum terlukiskan dengan betul dalam aturan main kompasiana rumah sehat. Mungkin juru kunci hanya mengutip jargon-jargon yang selama ini berlaku di negara kita, yakni menulis jangan sampai berbau SARA. Sedangkan pemahaman SARA di setiap benak penulis berbeda pula. Hehehe
Terus terang, saya takut kelak persoalan pembekuan akun akan merambah ke akun pribadi. Makanya, perlu sekali aturan tegas dari admin, walau kita mulai bersukur postingan tidak dimoderasi lagi—ini memang harapan.
Oleh karena itu, melalui celoteh ini saya juga ingin menyampaikan sedikit masukan bagaimana sebuah postingan dianggap berbahaya. (1) jika tulisan tersebut menyudutkan/menjelekkan agama lain. (2) jika tulisan itu menjelekkan/menyudutkan pribadi/ lembaga orang.
Kata “menjelekkan” ini mesti disamakan pemahamannnya. Jangan sampai kritikan pun nantinya dianggap sebagai bagian menjelekkan. Ah, ternyata susah juga mencari “baik” dan “jelek” itu. Maka, memberi peluang pada kata (diskusi) saya kira tidak salah dilakukan sebelum bertindaka agar kita tidak disebutkan main hakim sendiri.
Sebagai tambahan, perlu juga membatasi akun atas nama lembaga tertentu, karena ditakutkan akan mengarah ke iklan lembaga tersebut. Seorang penulis tidak perlu takut memberitahukan namanya, karena ini bukan lagi zaman anonimous. “Ketakutan” mesti dikalahkan oleh “keberanian”. Semoga kompasiana sehat membuat orang sakit jadi sehat pula. J
Herman RN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H