(Catatan Seorang Mantan Pecandu)
HARI itu, 26 Juni 2007, rerumputan di lapangan Blang Padang mulai melupakan embun. Pagi itu, Blang Padang lebih ramai dari biasanya. Sebuah panggung selebar setengah lapangan bola voli berdiri kokoh di sudut Selatan lapangan, lengkap dengan pengeras suara yang kutaksir sekitar 7500 watt. Di bagian belakang panggung terpajang sebuah spanduk sepanjang delapan meter. Dari sekian tulisan di kain rentang itu, terdapat sebuah tulisan “Hari Anti Madat se-Dunia”.
Penampilan demi penampilan silih berganti di panggung tersebut. Hingga tiba giliran seorang lelaki berambut cepak. Dia berkoar-koar di pengeras suara serupa ketua partai yang mengkampanyekan partainya. Dia meneriakkan ke hadirin untuk tidak menggunakan narkoba (narkotik dan obat-obat berbahaya) serambi mengacungka tangannya ke atas. “Jangankan memakainya, mendekati saja usahakan jangan!” pekik lelaki itu.
Ternyata dia merupakan salah satu aktivis Medan Aceh Partnership (MAP), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang penyuluhan HIV/ AIDS. Hal itu aku ketahui dari dia langsung. Usai kampanye anti narkoba itu, aku menemuinya. Kami berbincang ringan sekitar kegiatan dia dan lembaganya terhadap penyuluhan anti narkoba dan AIDS. Perbincangan itu mengalir bagai cuaca yang sejuk pada hari itu.
“Di lembaga kami, ada seorang lelaki asal Jakarta. Dahulunya dia seorang pecandu berat narkoba. Hampir seluruh jenis narkoba sudah dia pakai. Tapi, sekarang dia sudah berhenti, bahkan, saat ini dia ikut kami dalam kampanye anti narkoba dan AIDS,” jelas lelaki yang meminta dirinya disapa dengan Hadi saja.
Kepada lelaki asal Sumatera Utara itu, aku minta dipertemukan dengan orang yang dimaksudkannya. “Besok sore, datang saja ke kantor,” jawab Hadi seraya menyodorkan kartu namanya.
Keesokanya, habis Ashar, seperti yang dijanjikan, aku datang ke kantor MAP perwakilan Banda Aceh yang berada di jalan Tgk. Syik, lorong E nomor 6 Beurawe. Di ruang tamu kantor itu, aku diperkenalkan dengan seorang lelaki berwajah tirus dan rambut keriting. Lelaki berkulit pucat itu tidak heran dengan kehadiranku. Hadi memang sudah memberitahukan kepadanya kalau aku bermaksud ngobrol “sepukul-dua pukul” dengannya tentang perjalanan hidupnya masa lampau hingga menjadi seorang aktivis anti narkoba-AIDS.
Lelaki itu menyulut sebatang Marlboro Light yang sedari tadi memang sudah tergeletak di meja tamu. Lalu, di ruang tanpa air conditioner (AC) itu, dia berkisah kepadaku tentang perjalanannya hingga sampai ke Aceh sebagai aktivis anti narkoba dan AIDS.
Inilah kisah itu, sebuah catatan perjalanan selama Amru menjadi seorang “pemakai” narkotik dan obat-obat berhaya (narkoba). “Saya akui, nikmat sekali ‘obat’ itu. Sesaat saya merasa seperti di syurga, tapi saya berjanji tidak akan menggunakannya lagi,” papar Amru sebelum mengawali ceritanya.
Lelaki yang saat ini berusia 25 tahun itu tinggal di sebuah gang di sudut kota Jakarta. Di gang itu, hampir 65% penghuninya memakai berbagai jenis narkoba. Gang itu juga terkenal dengan togelnya. Hampir semua orang, laki – perempuan senang memasang togel. Bahkan, dalam sebuah keluarga, ada anak yang berlomba-lomba dengan ayahnya main ‘tebak nomor’ tersebut. Beberapa kios kecil di gang itu disulap oleh pemiliknya sebagai tempat “main tebak” nomor. Bagaimana dengan polisi?
Menurut Amru, polisi pun ada yang ikut ‘masang’. “Sudah menjadi rahasia umum, pemilik kios-kios di lorong kami banyak menjadi bandar,” kata Amru. Namun demikian, Amru mengaku tidak suka permainan itu. Dia hanya terjebak pada obat berbahaya.
Waktu itu tahun 1995. Amru sedang duduk-duduk di serambi rumahnya. Beberapa orang teman menghampiri Amru dan mengajaknya bermain ke tempat mereka biasa mangkal. Seperti biasa, Amru pamit kepada orangtuanya sebelum pergi. Sesampainya di suatu gubuk, tidak jauh dari gang masuk rumahnya, teman Amru mengeluarkan sebotol minuman. Lalu, ketiga temannya menawarkan minuman itu kepada Amru.
“Mereka teguk satu botol beramai-ramai. Terus saya diminta minum juga. saya tahu itu bir. Jadi saya menolak,” papar Amru.
Keesokan harinya, teman Amru kembali mengajaknya bermain. Amru tidak menyangka kalau mereka kembali ke gubuk kemarin. Seperti kemarin pula, Amru ditawari lagi ‘barang’ itu, namun Amru tetap menolaknya dengan halus. “Kalian saja, guwa merokok aja udah cukup,” jelas Amru kepada teman-temannya.
“Gak gaul lo,” ucap seorang teman Amru. Teman-teman yang lain pun menyambut, “Benar, lo gak gaul.”
Hari ketiga setelah hari itu, teman Amru kembali datang. Kali ini Amru tidak mau ikut ajakan teman-temannya, tapi setelah teman-temannya mengatakan tidak akan memaksa Amru untuk ikut ‘minum’ seperti mereka, Amru akhirnya ikut mereka. Bukan hanya karena itu, Amru juga tidak mau dianggap sebagai ‘anak rumahan’. Makanya, Amru kembali ke gubuk mereka.
Benar, teman-teman Amru tidak memaksanya seperti hari kemarin. Namun, salah seorang teman mengatakan, “Kalau lo mau mencoba, silakan, mumpung kita lagi dapat banyak hari ini.”
Mencoba? Ya, hanya mencoba tak salahnya, pikir Amru saat itu.
“Sebagai remaja yang masih dalam masa pertumbuhan, rasa ingin mencoba hal baru itu pasti ada pada kita. Berawal dari situlah saya berpikir mau mencobanya,” tutur Amru kepadaku.
Semula Amru mencoba narkoba pada jenis minuman. Waktu itu Amru minum bir Bintang. Keesokan harinya hal serupa kembali terjadi. Bahkan, hari berikutnya, Amru ditawari jenis pil, lalu putau, kemudian keesokannya Amru mulai mengenaal jenis suntik.
Hari berganti hari. Berawal dari mencoba itu, Amru merasa mulai membutuhkan barang tersebut. Sehari tidak mendapatkannya, tubuhnya terasa sakit-sakit. Maka, saat itu, Amru akan gelagapan mencari teman-temannya. Bukan kepalang nasib menimpa Amru, teman-temannya mulai ‘bermain’. Mereka tidak mau lagi memberikan ‘obat’ kepada Amru secara cuma-cuma. Mereka minta Amru turut menyumbang untuk mendapatkan berbagai jenis obat tersebut. Amru sendiri mengaku dalam sehari dia ‘makai’ sampai empat – lima kali.
Lama kelamaan, Amru semakin sangat butuh ‘barang’ itu. Namun, terkadang saat dia mendatangi teman-temannya, mereka juga tidak punya ‘simpanan’ barang tersebut.
“Guwa ngga ada lagi uang, kalau lo memang mau, guwa bisa tunjukin di mana lo bisa mendapatkannya, nanti lo beli sendiri sama dia,” ujar salah seorang teman Amru.
Karena memang butuh, Amru akhirnya menyisihkan uang jajan untuk belanja “barang” itu. Terkadang Amru sengaja membeli lebih agar teman-temannya kebagian. “Itung-itung balasa jasa mereka tempo hari,” papar Amru tersenyum.
Hari berikutnya Amru bukan lagi menyisihkan, tetapi seluruh uang jajannya dibelikan ‘barang’. “Saya lebih mementingkan mendapatkan obat itu daripada makan. Tidak makan tidak mengapa, asal ‘barang’ itu ada,” akunya.
* * *
Matahari kian berputar mengitari bumi pada porosnya. Hari kian berganti. Pekan demi pekan berlalu. Amru yang tidak memiliki pekerjaan mulai mencari kerja. Kerja yang pertama sekali dilakukannya adalah menipu orangtuanya, lalu adik, seterusnya kakak. Kepada keluarganya itu, Amru memberikan alasan beragam untuk mendapatkan uang yang akan dibelanjakan ke ‘barang’ kebutuhannya. Tak urung pula, adik dan kakaknya saling bertengkar, saat menyadari uang simpanan mereka ‘disambar tuyul’.
Lama-kelamaan, Amru memperluas arela kerjanya. Dia mulai menipu tetangganya. Semula tetangga dekat, sekitar rumahnya, kemudian tetangga yang berjauhan rumah. Semua dilakukan Amru demi mendapatkan uang atau sejenisnya untuk ditukarnya dengan “barang” tersebut.
“Saya gencar-gencarnya menjalankan aksi penipuan itu tahun 1997. Waktu itu saya mulai mencoba putau. Aku sanggup memakainya sampai lima dan enam kali,” beber Amru.
Suatu hari di hari yang cerah, entah dari mana datangnya, tiba-tiba polisi mencari Amru. Ada laporan dari warga kalau tingkahnya meresahkan warga. Mungkin karena itu polisi mencari Amru. Saat “diciduk”, ketahuanlah bahwa Amru ternyata seorang pemakai. Sesuai dengan hukum yang berlaku, Amru dijebloskan ke penjara. Hampir setahun dia mendekap di kamar sepi itu. Hingga suatu hari, dia dibebaskan kembali.
“Selama di penjara, saya dibina, di ajari agama, lalu dibebaskan kembali,” kenang Amru.
Seminggu pascakeluar penjara Amru mengurung diri di rumah. Ia merasa warga menjauhi dirinya dan dicap sebagai orang jahat. “Mantan Napi,” demikian gelar yang diberi orang kampungnya. Dari pihak kelurganya sendiri, Amru sering didiamkan, seolah-olah bahaya berbicara dengan Amru.
“Saya sangat terpukul dengan tingkah orang-orang di sekeliling saya. Keluarga saya sendiri terasa menjauhi saya,” ujar Amru kesal.
Suatu hari, teman lama datang menemui Amru. Ketika itu Amru dibujuk untuk makai lagi. “Daripada pusing mikirin masyarakat, orang rumah, mending hilangin stres dengan makai lagi,” pikir Amru.
Saat itu Amru berpikir sempat berpikir, temannya ini seorang pengedar, tetapi tidak ditangkap oleh polisi, sedangkan dirinya hanya seorang pemakai, tapi dijebloskan ke penjara. Dia ditangkap, sedangkan temannya tidak. Amru berpikir saat itu, kalau polisi sangat membenci dirinya, makanya dia ditangkap dan dipermalukan. Sementara itu, Amru juga menyalahkan warga kampungnya. Dia sudah berusaha bertaubat sekeluarnya dari penjara, tapi warga malah mengecapnya sebagai orang berbahaya.
Pikiran Amru kala benar-benar kalut. Dia juga berpikir kalau keluarganya tidak sayang lagi kepadanya, makanya dirinya diacuhkan. Karena itu, Amru mengikuti teman-temannya kembali menuju tempat yang dulu pernah dikunjunginya bersama beberapa teman yang lain untuk makai.
Sejak saat hari itu, Amru kembali menjalani hidupnya sebagai pemakai. Namun, seiring perjalanan waktu, dia melihat satu per satu temannya jatuh sakit. “Bahkan, ada juga yang meninggal karena sakau dan overdosis,” kata Amru.
Melihat situasi saat itu, timbul niat di hati Amru untuk berhenti. “Saya mulai berpikir berhenti saat itu. Tapi ternyata sangat sulit. Saya sudah terikat dengan ‘barang’ itu. Saya pernah berpikir kalau saya akan mati karena berhenti, tapi saya terus berusaha. Saya mulai mengurangi mengkonsumsi barang itu,” papar Amru.
Hal itu pun dilakoni Amru. Jika dahulu, dia bisa makai lima sampai enam kali dalam satu hari, sejak timbul niat berhenti itu, dia hanya makai tiga kali sehari, lalu satu kali sehari, kemudian menjadi dua hari sekali. Pengurangan itu terus berlanjut hingga dalam sebulan terkadang dia hanya memakai barang itu tiga kali.
“Berat! Saya akui sangat berat! Seluruh badan saya terasa sakit-sakit waktu itu,” keluh Amru.
Melihat tingkah Amru yang berubah ke arah lebih baik, seorang saudaranya menwari kerja ke Malaysia. Saat itu, Amru berpikir, “Mungkin ini jalan terbaik untuk meninggalkan barang terlarang tersebut.” Amru mengambil tawaran saudaranya itu. “Waktu itu tahun 2000. Saya berangkat ke Malaysia,” jelasnya.
Setahun di negeri jiran, Amru kembali ke Kampungnya. Sejak saat itu, Amru lebih banyak di rumah. Kali ini dia sengaja mengurung diri di rumah, tak peduli teman-temanya menertawai dirinya tak gaul. Amru mulai merasa sangat takut kalau dia kembali terjebak ke jalan lampau. Oleh karena itu, dia sengaja mengurung diri di rumah saja. Kalaupun ke luar, paling hanya beli rokok dan permen.
Hari yang ditakutinya datang. Suatu hari, sahabat lamanya menemuinya di rumah. Lalu, Amru diajak ke rumah temannya itu. Di sana Amru ditawari bir. Semula Amru berusaha menolak, tetapi beberapa teman yang sudah duluan di sana mengatai dirinya tidak feer. Merasa tidak enak dengan teman-temannya, Amru akhirnya ikut “pesta narkoba” di rumah temannya itu. Tak sadar, rupanya dia sudah mimum terlalu banyak.
Satu minggu sejak hari itu, Amru jatuh sakit. Kian hari sakitnya semakin parah. “Akhirnya saya dirawat di salah satu rumah sakit Jakarta,” ucap Amru yang tidak mau menyebutkan rumah sakit tempat dia pernah dirawat.
Ketika tensi darah Amru diperiksa, dirinya dikabari terjangkit virus HIV/ AIDS. “Dengan menggunakan CD4 kekebalan tubuh saya diukur, ternyata hanya 119. Sementara itu, menurut Dokter, kekebalan tubuh manusia normal itu seharusnya di atas 2000,” jelas Amru seraya menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Disaat itulah saya merasakan sia-sia hidup saya. Saya merasa tidak berguna lagi. Saya menangis ketika itu. Saya benar-benar menyesal dan putus asa,” lanjutnya.
Suatu hari, kabar Amru sebagai penderita AIDS yang dirawat di rumah sakit itu terdengar ke sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penyuluhan HIV/ AIDS. Beberapa aktivis lembaga ini pun menemui Amru di rumah sakit. Kepada Amru, awak LSM ini mengatakan bahwa hidup Amru masih dapat ditolong.
“Obat untuk membunuh virus HIV memang belum ditemukan sampai sekarang, tapi kamu masih bisa menjalani hidup seperti manusia normal. Hidupmu masih bisa ditolong. Yang penting kamu mau berobat,” ujar awak LSM itu meyakinkan Amru.
Setiap hari awak LSM itu menjenguk Amru dan memberikan semangat hidup kepadanya. Mendengar dan melihat kegigihan awak LSM itu, hati Amru tergugah. Dia mulai merasa masih ada orang yang peduli padanya. “Ternyata masih ada orang yang peduli sama saya, makanya, sejak saat itu, saya mulai tekun minum obat. Apa yang dibilang dokter, saya turuti,” ucap Amru.
Amru diminta dokter untuk selalu menggunakan anti retri viral (ARV). Di rumah sakit itu pula, Amru tergugah untuk beribadah dan mengingat Tuhan dalam doa-doanya.
Sesuai anjuran dokter, ARV harus digunakan oleh setiap orang yang kekebalan tubuhnya di bawah 2000, Amru pun menggunakan obat itu sampai sekarang. Jika dahulu kekebalan tubuh Amru hanya 119, saat ini sudah mencapai 409.
“Saya akan terus menggunakan ARV hingga kekebalan tubuh saya dapat setara dengan manusia normal,” tegas Amru semangat.
“Karena menurut keterangan dokter, sekali saja saya berhenti menggunakan ARV, obat ini akan resisten (tidak bekerja lagi),” imbuhnya.
Masalah hasru bergantung dengan obat tersebut (ARV), Amru mengatakan, “Ini adalah risiko saya sebagai mantan pemakai. Dahulu saya merasakan enaknya, saat ini saya harus bersusah payah untuk keluar dari sini, sudah sewajarnya. Ini harga yang harus saya bayar.”
Hari-hari dilewati Amru di rumah sakit. Hingga suatu hari, Amru dikabarkan sudah boleh keluar dari rumah sakit, tetapi tetap tidak boleh meninggalkan ARV. Dan sebulan sekali Amru diharapkan memerikasakan kekebalan tubuhnya.
Sekeluarnya dari rumah sakit tersebut, Amru bergabung dengan awak LSM yang telah memberinya semangat hidup. Sejak saat itu pula, Amru mencoba menasihati teman-temannya untuk mengurangi pemakaian narkoba.
“Memang payah mengajak orang untuk berhenti makai, tapi saya menganjurkan kepada teman-teman untuk menguranginya dahulu, kemudian baru berhenti,” ungkap Amru.
Semula ajakan Amru mendapat ledekan dari teman-temannya. Namun, ketika satu per satu temannya jatuh sakit, akhirnya ada juga teman-temannya yang mau mengurangi pemakaian. Bahkan ada yang langsung mencoba untuk berhenti. Sejak saat itu, Amru menjadi bagian dari aktivis kampanye anti narkoba dan AIDS bersama LSM yang telah memberinya semangat hidup.
Dari pengalamannya itu, Amru menjelaskan bahwa sebenarnya bukan kebencian yang harus ditampakkan kepada pemakai. “Tetapi, bagaimana caranya upayakan pendampingan kepada mereka. Yakinkan mereka bahwa jalan yang diambilnya adalah salah. Kalau dia sudah salah, kita malah menjauhinya, dia semakin terjerumus,” kata Amru.
Dirinya juga menyesali sikap polisi yang hanya bisa main tangkap dan jeblos ke dalam jeruji besi kepada pemakai, sedangkan pengedar masih banyak berkeliaran. “Seharusnya pemakai bukan di penjara tempatnya. Mereka harus didampingi. Yang layak dipenjarakan itu adalah pengedar. Pengedar itu sumber penghancur, bukan pemakai seperti slogan-slogan yang kita dengar,” keluhnya.
Hikmah sebuah Kebebasan
“Barangkali ini hikmah yang saya petik dari sebuah kebebasan saya dari obat-obar berbahaya. Saya terjangkit HIV,” ucap Amru lesu.
“Bahwasanya kenikmatan narkoba hanya sementara itu bukan hanya mendapat hukuman di hari akhir, tetapi juga ketika masih hidup,” tambahnya.
Menurut Amru, virus mematikan (HIV) itu terjangkit kepada pemakai karena penggunaan jarum suntik yang suka berbagi dengan dengan teman. Oleh karenanya, dalam bincang-bincang sore itu, Amru sempat berpesan kepada pemakai agar jangan suka memakai jarum suntik orang lain.
“Pertanyaannya sekarang, sejauh apakah peranan pemerintah dalam membasmi pemakaian obat-obat terlarang di negeri ini. Seperti apa pula pengertian yang diberikan kepada masyarakat sehingga selalu menanamkan kebencian kepada mantan pemakai atau orang yang terjangkit virus HIV sehingga orang tersebut selalu dikucilkan dalam masyarakat? Padahal, menurut dokter dan sejumlah hasil penelitian LSM yang bergerak di bidang penyuluhan HIV/ AIDS, pengidap AIDS tidaklah sebahaya yang diduga masyarakat sekarang, yang menilai bahwa bertatapan langsung dengan si pengidap dapat tertular,” beber Hadi yang sedari tadi mendengar cerita Amru bersamaku.
Sementara itu, menurut Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), virus HIV hanya dapat tertular melalui hubungan seks yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang sering dilakukan oleh parapecandu, transfusi darah, dan seorang ibu—pengidap HIV, ke janin bayi waktu mengandung. Masih menurut YCAB, HIV tidak menular melalui bersalaman, berciuman, batuk (bersin), dan berpelukan.
Oleh karena itu, sebelum menutup pembicaraannya, Amru mengharapkan kepada masyarakat agar tidak memandang sinis terhadap pecandu atau pengidap HIV. “Yang mereka butuhkan pendampingan, bukan pandangan sinis,” tegas Amru.
Ket: Tulisan ini pernah dimuat di sebah media lokal terbitan Banda Aceh, Juni 2007.
Herman RN, penulis lepas di beberapa media lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H