Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Napaktilas Bandar Wisata Islami

6 Juli 2010   13:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:03 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Herman RN

Gemilang sejarah yang hendak dikembali oleh Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh patut diapresiasi. Sayangnya, program Banda Aceh sebagai “Bandar Wisata Islami” belum maksimal. Kita percaya, untuk mencapai sesuatu yang memuaskan itu dibutuhkan proses, termasuk menjadikan Banda Aceh sebagai bandar islami.

Dalam catatan sejarah, nama Banda Aceh muncul pertama sekali di Gampông Pande. Kala itu, April 1205 M. adalah bulan sejarah muasal bagi Kota Banda Aceh. Pada bulan itu, Banda Aceh yang masih bernama Kutaraja dilakab sebagai ibukota Kerajaan Islam Bandar Aceh Darussalam, yang sekarang jadi Ibukota Provinsi Aceh.

Berderet situs sejarah terdapat di Gampông Pande yang menandai asal Kota Banda Aceh. Di antaranya makam raja-raja Aceh masa lampau sebagai bukti di gampông tersebut pernah bertahta kerajaan Islam.

Tak hanya makam para raja dan laksmana, masa lalu, di sana juga terdapat lokasi pengrajin emas yang sangat pandai dan terkenal. Lokasi ini tepatnya di Kuta Blang, yang sekarang jadi nama salah satu lorong di gampông tersebut. Hasil kerajinan masyarakat di gampông ini, masa sejarah dijual hingga ke Turky, Malaysia, Prancis, dan Inggris. Kendati si pandai emas bukan penduduk asli Gampông Pande, ia terkenal dan dikenal bermukim di sana.

Mengenang semua itu, kadang kita hanya dapat berucap bahwa generasi sekarang hanya pintar nostalgia semata. Mengenang sejarah seakan bagian dari gerakan romantisme, bukan gerakan perubahan sosial agar masa kini peradaban kita lebih maju daripada masa lalu. Sekarang, kita yang impor berbagai kebutuhan dan hasil kerajinan dari luar padahal dulu kita menjadi pengekspor. Setingkat kebutuhan dapur saja, tanpa Medan, mungkin masyarakat Banda Aceh sekarang bahkan Aceh secara umum tak jadi apa-apa.

Sejarah Kejadian

Para arkeolog dan sejarawan pernah melakukan penelitian terhadap batu-batu nisan pada komplek pemakaman di Gampông Pande. Di antara bantu nisan disebutkan milik Sultan Firman Syah, cucu Sultan Johan Syah. Dari sinilah kemudian terungkap bawa kampung yang menjadi asal mula Kota Banda Aceh itu dibangun pada Jumat, 1 Ramadhan 610 Hijriah atau 22 April 1205 Masehi.

Gampông yang menjadi pusat kerajaan ini dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Beberapa catatan menyebutkan Kota Lamuri adalah "Lam Urik" yang sekarang terletak di Aceh Besar. Akan tetapi, menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle, yang dimaksud dengan Lamuri adalah "Lamreh" di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama "Kandang Aceh" (dari situs Pemko Banda Aceh).

Dari sebuah literatur disebutkan masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, pernah dibangun sebuah istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang). Beliau juga disebutkan mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H, yang kala itu masih berkubah satu.

Berdasarkan temuan tersebut, Banda Aceh kemudian ditabalkan sebagai kota Islam tertua di Asia Tenggara. Kota ini pernah menjadi sangat terkenal sebagai Bandar Aceh Darussalam, terutama masa gemilangnya kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Iskandar Muda berdaulat dan beberapa sultan lainnya. Namun, kegemilangan itu runtuh pelan-pelan karena pecah "Perang Saudara" antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya. Peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.

Setelah Bandar Aceh Darussalam menjadi reruntuhan dan dianggap sebagai puing Kota Islam tertua di Nusantara, Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal mereka untuk usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam. Sejak itu, Bandar Aceh Darussalam diganti nama menjadi Kutaraja (kotanya para raja) oleh Gubernur Hindia Belanda, Van Swieten. Pergantian nama itu dilakukan pada 24 Januari 1874 setelah Belanda berhasil menduduki istana/Kraton.

Pergantian nama ini kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit bertanggal 16 Maret 1874. Namun, pergantian tersebut mendapat penentangan di kalangan tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas di Aceh. Mereka mengangap Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh, sedangkan mereka sendiri meragukannya.

Dalam perjalanannya, 89 tahun kemudian dari peristiwa tersebut, tepatnya tahun 1963, Kutaraja diganti nama menjadi Banda Aceh. Pergantian nama ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi nama Ibukota Provinsi Aceh sampai sekarang. Kota Banda Aceh dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1956 dan merupakan daerah otonom dalam Provinsi Aceh.

Pascatsunami

Setelah Kota Banda Aceh dan wilayah Aceh umumnya diamuk gempa dan gelombang tsunami, kini Banda Aceh sedang berusaha ‘berdiri’ kembali untuk kesekian kali. Saat ini, di tangan Mawardi Nurdin dan Illiza Sa’aduddin, Banda Aceh hendak dijadikan Bandar Islami, dengan nama Bandar Wisata Islami. Tentunya ini impian terhadap kegemilangan masa lalu.

Adalah cita-cita luhur Banda Aceh menjadi Bandar Wisata Islami. Harapan masyarakat cita-cita ini bukan sekadar nostalgia kegemilangan karena Banda Aceh pernah jadi pusat tamadun islam nusantara. Selain itu, pembangunan hendaknya tidak hanya dipusatkan di bagian kota saja, sedangkan Gampông Pande yang merupakan cikal bakal Kota Banda Aceh lantas jadi terlupakan karena posisinya yang di pojok. Bukan hanya Gampông Pande, beberapa situs sejarah di wilayah Kota Banda Aceh juga harus menjadi perhatian pemerintah. Pembangunan yang semata memikirkan fisik bertingkat ala lembaga donor semoga tidak menjadi acuan total Pemko.

Kendati Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) serta beberapa lembaga donor telah mengakhiri masa kerja di Aceh, masyarakat tetap berharap pemerintah kota dapat membangun Kota Banda Aceh seperti dicita-citakan. Sejarahlah yang membuat kita bangga pada hari ini. Maka kebanggaan generasi mendatang adalah sejarah yang kita ukir masa sekarang. Semoga Gampông Pande tidak sekadar tercatat di buku sejarah sekolah, tapi di hati masyarakat Aceh secara umum bahwa di sanalan muasal bandar itu.[KONTRAS, edisi 1-7 Juli 2010]

Penulis, kandidat Master Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah. Pengurus Lembaga Budaya SAMAN.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun