Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menabur Mimpi

11 April 2010   02:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:52 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang anak manusia mempunyai mimpi adalah sebuah kewajaran. Untuk menggapai mimpi tersebut sangat dibutuhkan visi. Demi tercapainya visi diperlukan aksi. Melihat wajah Indonesia sekarang ini menggantung mimpi terkadang terlalu naif, tetapi itu harus dilakukan demi tercapainya sebuah perubahan.

Kata ‘mimpi’ adalah sebuah abstrak yang sangat membutuhkan visi dan aksi untuk mencapainya. Indonesia sebagai negara yang sedang membangun adalah baik menggantung mimpi setinggi-tingginya. Bak kata orang bijak “gantunglah cita-cita setinggi langit.” Namun demikian, sebuah mimpi takkan ada artinya tanpa visi dan aksi. Oleh karena itu, saya mengharapkan dalam mimpi-mipi yang saya tawarkan melalui tulisan ini pemerintah dapat mempunyai visi untuk melakukan aksi demi tercapainya mimpi kita.

Saya optimis negara ini akan dapat menggapai mimpinya, yakni menjadi negara maju dan berkembang dari segala bidang selama memperhatikan segala bidang tersebut. Di sini saya ingin mengambil contoh bidang budaya.

Budaya tidak dapat kita lepaskan dari pembangunan karena identitas suatu bangsa bukan hanya terletak pada bahasa, juga adat dan budayanya. Mengapa demikian? Sebab bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, yaitu kebudayaan turun temurun. Koendjaraningrat dalam bukunya menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk budaya. Dapat kita artikan secara logika, yang tidak berbudaya berarti bukan manusia. Demikian makna secara kasarnya meskipun Koendjaraningrat tidak bermaksud seperti itu.

Pemerintah dalam membangun negara ini cenderung melupakan hal ini (budaya). Contoh kasus saya sebutkan pembagunan Aceh pascagempa dan tsunami. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias bisa dikatakan sebagai induknya perubahan dan pembangunan di Aceh dan Nias. Banyak dana mengalir dari dan ke BRR, namun pembangunan yang tampak hanya fisiknya. Maka, cukup sudah untuk BRR! Yang ada hanyalah mantan Bapel BRR bersama kroninya yang bertambah “makmur”, sedangkan masyarakat daerah bencana, belum tentu.

Menurut hemat saya, pemerintah menilai sebuah kemajuan pembangunan terletak pada pembangunan fisik seperti jalan dan rumah-rumah saja. Akhirnya budaya cenderung dilupakan karena budaya sifatnya abstrak. Oleh karena itu, melalui tulisan singkat ini saya menabur mimpi dan optimisme bahwa bangsa Indonesia akan maju jika menggalakkan pembangunan bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga budaya. Terimakasih. Salam pembangunan.[Herman RN]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun