Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Insan Cobaan

18 Juli 2010   16:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:46 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sajak Herman RN

--TIP

Ini bukan tentang pohon gelumpang raya yang akarnya mencakar kekar kerak bumi berpualam. Bukan pula mengenai batu karang yang tegar ditunjang badai dan guruh siang dan malam. Bukan…sungguh bukan sama sekali.

Ini hanya kisah seorang manusia biasa yang memiliki kesabaran luar biasa. Ini hanya epigram seorang insan yang punya islam dan iman melebihi kekuatan batu karang atau kekokohan pohon gelumpang.

Manakala surya masih pada titah Tuhan, serupa itulah ia, si insan penuh cobaan. Manakala purnama tetap pada firman Tuhan, serupa itu ia, si insan yang kerap dalam ujian.

Dulu di rimba ia ditabalkan. Di kampung ia dibicarakan.

Kala henti perang ia disalahkan. Di kota ia dikambinghitamkan, lalu didekam dalam kurungan. Janji dan sumpah masa perang hanya jadi bualan sekelompok orang yang sebelumnya adalah rekan.

Seratus delapan belas bulan masih dalam hitungan. Mungkin bertambah entah sampai kapan. Menghirup udara Tuhan dari sebalik rumah tahanan. Berkali Ramadhan pula lebaran, membuang air mata melihat badan. Anak menjenguk, istri membesuk, beberapa teman jadi hiburan. Tak sampai hitung hingga dua jam, istri pamit teman pun meninggalkan. Anak berujar, “Ayah kapan pulang?”

Sewindu hal itu dijalankan. Sesak sedak siang dan malam. Silih berganti doa terkirimkan. Dari sanak famili dan handai taulan. Sesekali dapat kiriman, janji dilepaskan oleh pimpinan. Berkali-kali itu jadi harapan, surat berantai luruh dalam sekali fitnahan. Ramadhan tahun ini tipis harapan, menjenguk keluarga dan kampung halaman.

Belum usai mimpi lebaran, pun Ramadhan masih jadi tungguan. Tepat tanggal 17 Juli dalam hitungan. Ayahanda pamit dalam suratan. Duduk bersimpuh tangan ditengadahkan. Mencoba tulus ikhlas yang hanya tersisa jadi pilihan. Tubuh bergetar air mata bercucuran, usah ditanya remuk di dalam. Nun di sana, suara seorang putri serupa dalam bisikan, “Ayah, kapan pulang? Kakek sudah pergi ke Tuhan.”

Lagi-lagi doa penuh harapan. Kepada Allah Rabbu’alam. Ayah diterima di sisi Tuhan. Tabah dan sabar untuk yang ditinggalkan. Ujung terakhir doa dilisankan, semoga pimpinan dapat ibrah dari segala tanda-tanda alam.

Di bawah bulan tak bersinar,

18 Juli 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun