Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ikhtilaf Seribu Bulan

3 September 2010   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:28 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam kemuliaan” (Q.S Al-Qadr: 1)

ISLAM menjunjung tinggi ikhtilaf atau perbedaan pendapat. Bahkan, Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa beda pendapat di antara umat adalah rahmat.

Perbedaan pandangan atau pendapat di bulan Ramadan ini sangat menyolok pada jumlah rakaat salat tarawih. Soal jumlah rakaat delapan atau 20 tidak pernah selesai hingga sekarang. Masing-masing kelompok yang mempertahankan jumlah tersebut mengaku memiliki dalil sangat kuat.

Beda pendapat juga terjadi pada penentuan malam lailatul qadar. Seperti diketahui, semua mazhab sepakat malam lailatul qadar adalah malam yang sangat istimewa. Terlebih istimewanya, Allah swt. menukilkan lailatul qadar sebagai malam mulia bahkan lebih mulia dari seribu bulan (Q.S Al-Qadr).

Oleh karena kemuliaan malam tersebut, Allah menjanjikan pahala berlimpah dan pengampunan dosa bagi yang memperoleh malam itu. Persoalan kemudian, kapan malam seribu bulan tersebut?

Mengacu pada ayat pertama Alquran Surat Al-Qadr, malam lailatul qadar adalah malam diturunkannya kitab suci Alquran. Mengamati kebiasaan umum umat muslim di Tanah Air yang merayakan Nuzul Alquran setiap 17 Ramadan, muncul pendapat bahwa malam ‘seribu bulan’ itu jatuh pada 17 Ramadan.

Pendapat lain menyebutkan bahwa lailatul qadar terdapat pada salah satu malam ganjil bulan Ramadan. Pemilihan malam ganjil ini pun masih terpecah jadi dua: ada yang mengatakan di antara malam ganjil pada 10 terakhir Ramadan, ada pula yang menyebutkan hitungan ganjilnya dapat dimulai sejak malam pertama Ramadan.

Di antara dua pendapat terhadap pemilihan malam ganjil ini, pendapat yang memilih pada malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadan lebih diyakini memiliki dalil kuat. Di antara dalil itu diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. “Carilah dia (lailatul qodr) pada sepuluh malam terakhir di malam-malam ganjil,” (H.R Bukhari Muslim).

Khilafiah lain muncul dari kalangan yang meyakini lailatul qadar itu ada di antara tiga malam, 19, 21, atau 23 Ramadan. Kelompok yang memilih antara tiga malam ini umumnya berasal dari Syi’ah. Kendati dua malam ganjil itu termasuk pada sepuluh terakhir Ramadan, mereka juga meyakini satu malam ganjil di bawah 20 Ramadan, yakni malam 19.

Selain itu, ada riwayat menyatakan bahwa gugurnya Ali bin Abi Thalib dari sebuah perang adalah 19 Ramadan sehingga semakin menguatkan golongan ini kalau lailatul qadar bisa saja terjadi pada 19 Ramadan, manakala bukan pada 21 atau 23.

Ada beberapa pendapat lain tentang jatuhnya malam seribu bulan, antara lain malam itu terdapat pada tiga malam terakhir: 27, 28, 29 Ramadan. Ada pula pendapat yang mengatakan hanya pada 27 Ramadan.

Semua pendapat di atas mengaku memiliki pegangan yang kuat, baik dari sisi dalil maupun riwayat. Terlepas dari mana yang memiliki dalil lebih kuat antara golonga tersebut, di sini dapat dilihat bahwa Islam memberikan kebebasan bagi penganutnya untuk berpendapat sesuai keyakinan yang dimiliki, tetapi mesti jelas sanatnya. Persoalan kemudian adalah tatkala ada yang mencoba mengaku bahwa hanya pendapat dirinya (kelompoknya) semata yang benar, lantas melemahkan pendapat orang lain.

Hal-hal semacam ini, ingin menang sendiri, cenderung mengarah pada permusuhan. Oleh karena itu, tulisan ini bukan hendak mencari mana pendapat yang lebih benar terhadap malam seribu bulan tersebut. Akan tetapi, yang patut dicermati adalah semua mazhab mengakui bahwa malam lailatul qadar adalah malam mulia melebihi seribu bulan.

Patut dicermati kemudian, apakah malam tersebut dikatakan mulia karena pada malam itu diturunkan Alquran atau malam mulia itu sudah ada sejak dulu sehingga dipilihlah Alquran diturunkan pada malam tersebut?

Sebagai bahan renungan dan diskusi, tatkala kita yakin bahwa Alquran adalah firman Allah swt. yang haq, berarti turunnya Alquran mesti pada malam-malam tertentu, yakni malam yang dimuliakan oleh Allah swt.

Hal ini sejalan pula dengan firman Allah swt. yang menyebutkan bahwa sebenarnya Alquran pernah ditawarkan akan diturunkan pada batu dan gunung-gunung. Namun, benda-benda itu menolak, bukan tidak mau, tetapi memang memiliki keniscayaan tidak mampu.

Akhirnya, dipilih manusia sebagai tempat diturunkannya Alquran. Karena Alquran adalah haq, maka tidak sembarang manusia pula dapat menerima langsung dari Allah swt. Dipilihlah Sang Kekasih Alam, Muhammad Rasulullah saw. sebagai manusia yang mampu menerima Alquran untuk disampaikan selanjutnya ke seru sekalian alam. Demikian halnya dengan waktu penurunan, dipilihlah malam tertentu untuk diturunkannya Alquran, yakni malam yang mulia melebihi seribu bulan. Semoga kita mendapatkan malam tersebut. Amin. Wallahu’alam bisshawaf.

*Penulis, anggota diskusi alam Komunitas Panteue.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun