Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ibu

5 Desember 2009   17:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:03 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Setiap hari kau pegang kertas dan pensil, siang, malam, tiada hentinya. Untuk apa? Apa kau kira kertas itu dapat kau makan? Kau katakan kau bisa mencari makan dengan pensilmu, mana?! Yang kulihat masih nasi kutanak juga yang kau makan.” Begitulah kau menggerutu setiap melihat aku mencoret-coret kertas, Ibu. Aku tak marah, tidak sekali pun. Meski terkadang kau merepet ketika aku sedang menghadap piring nasi. Padahal ayah pernah melarang, jangan memarahi anak ketika dia sedang makan. Tapi kau tetap melakukannya padaku. Bahkan pernah kau lebih pedas lagi mengeluarkan kata-kata kepadaku. Kau pernah mengancam akan mengusirku jika masih saja menulis daripada mencari kerja.

“Lebih baik kau cari kerja untuk menabung agar bisa melanjutkan sekolahmu ke Perguruan Tinggi daripada membuat tumpukan kertas dalam kamar. Lebih baik kau tulis surat lamaran kerja,” bentakmu. Lalu kau melanjtkan, “Kalau kau masih juga menulis yang tiada artinya ini, lebih baik kau pergi saja dari rumah. Kau tidak lagi mendengar kata-kataku, padahal aku ibumu. Untuk apa kau kuberi makan?!”

Kata-kata itu sangat menusuk telingaku, Ibu, tapi kubawa tersenyum karena kau ibuku.

“Ibu, kelak jika aku jadi penulis besar, aku akan dapat uang banyak,” kataku untuk menghiburmu setiap kau marahi aku.

“Kelak! Kelak…! Kelak…! Kapan!? Sampai kelak kau menyusul ayahmu ke liang kubur?! Terus kau akan mencoret-coret kafanmu?! Apa itu yang kau harapkan dari tulisanmu?!”

“Ibu, aku memang tidak bisa memberikanmu janji, tapi aku akan berusaha. Dan aku percaya kelak aku akan berhasil.”

“Berhasil?! Heuh…” katamu mencibirku.

“Iya, ibu, aku akan jadi penulis besar nanti. Aku akan dikenal lewat tulisan-tuisanku meski kelak aku sudah mati.”

“Hei, tak usah kau cat langit. Kau ingin jadi penulis… dan terkenal? Heuh… jangan mimpi di siang bolong. Tunggu saja tumbuh tanduk di kepala kucing betina,” cibirmu. “Lagian keturunan kita tidak ada satu orang pun yang jadi penulis.”

“Aku akan membuktikannya, Ibu, kalau aku pasti bisa. Bakat tidak penting, Ibu, yang penting aku punya kemauan.”

“Kau kira ada yang mau membaca coretan jelekmu itu?! Pantas saja sudah beribu koran yang terbit, semua tertera namamu.”

“Ibu, jangan terus mengejekku. Seharusnya Ibu menyemangatiku, bukan menyindir. Aku memang selalu mengirimkan tulisanku ke media, tak perduli mereka memuatnya atau tidak. Tetapi, aku yakin mereka pasti membacanya, hanya saja mungkin belum sesuai dengan misi media itu. Bagiku, mereka sudah membaca tulisanku, sudah cukup. Dan ketika aku dapat menulis sesuatu, aku puas. Karena dengan menulis kita dapat mengingat, Bu.”

Andaikan hari ini aku menulis tentang ibu ketika marah, kelak jika ibu tak marah lagi, aku pasti sangat merindukannya. Tetapi, jika aku menulis bagaimana ibu memarahiku, raut wajah ibu, kata-kata ibu, tangan ibu, langkah kaki ibu, mata ibu, bibir ibu, dan semuanya tentang ibu ketika marah, akan ada yang aku ingat. Jika aku rindu ibu marah, aku tinggal melihat tulisanku tentang ibu marah. Bukankah menulis itu sesuatu yang mengasyikkan, Ibu?” tuturku panjang lebar sembarimelihat wajah merah ibu.

“Tak usah kau mengajari ibumu, belum apa-apa kau sudah sok pintar mengajari orang yang melahirkanmu.”

“Aku tidak mengajari ibu. Aku hanya katakan yang sebenarnya. Nah, coba ibu ingat tentang kenangan ibu bersama ayah semasa sekolah dulu. Sukar ‘kan?” ujarku dengan suara merayu. “Kalau ibu masih menyimpan surat ayah, ibu pasti mudah mengingat semua kata-kata ayah. Jika ibu ingat ayah, ibu tinggal membuka suratnya, paling tidak rasa rindu ibu pasti berkurang.”

Selepas kata-kataku itu ibu diam. Kulihat matanya sangat bening dan berkaca. Ibu segera mengubah posisinya, lalu kembali memarahiku. Ketika itulah aku terus menyebut-nyebut nama ayah karena aku tahu setiap nama ayah disebut, kau akan diam.

***

Pandanganku selaut lepas. Menerabas angin melintang. Di hadapanku hanya ada puing-puing kehancuran. Gersang dan fana. Pohon-pohon kayu yang tercabut dari akarnya, rumah-rumah dan gedung yang hanya terlihat pondasi, bangkai mobil yang hitam dan karatan, lumpur dan kotoran yang mulai mongering, dan belukar yang melilit. Daratan telah menyatu dengan laut. Semua tampak laksana hamparan yang luas. Bau busuk yang sama sekali tak pernah tercium menusuk hidungku saat ini. Satu dua mayat masih tersangkut di balik lumpur hitam. Di antara mayat-mayat itu ada yang sama sekali tidak berpakaian lagi. Kadang warna tubuh mereka pun sudah berubah hitam terpanggang.

Ibu, bathinku. Aku baru saja kembali melihat kampung kita. Beberapa hari lalu aku diundang ke Ibu Kota menghadiri pengambilan hadiah dan diskusi penulisan. Kebetulan tulisanku mendapat juara satu dan aku diminta mempersentasikan karyaku itu di acara penutupan di Jakarta. Tiga hari kemarin aku pamit padamu, Ibu. Hari ini aku sudah kembali lagi, tapi tak kudapati kampung kita yang dahulu. Laut telah menyulap kampung kita menjadi datar seluruhnya. Di mana rumah kita? Kemana kau, ibu? Selamatkah dirimu? Atau adakah kau di antara mayat-mayat yang belum sempat diangkat para relawan itu? Aku telah mencarimu di pos-pos pengungsian, tapi tak kudapati namamu dalam daftar orang yang selamat.

Sekarang aku berdiri tepat di rumah kita, Ibu. Rumah kita hanya tersisa lantainya. Tak ada atap, tak ada dinding, tak ada meja dan kursi kecil tempat aku makan dahulu. Juga tak ada kursi panjang tempat kau duduk menampi beras sambil marah-marah kepadaku. Semuanya hanya lumpur hitam.

Ibu, lihat! Aku masih ingat di sebelah sana kamarmu. Lihat, Ibu, ada seekor bangau sebesar elang berdiri di reruntuhan jendela kamarmu. Bangau itu menatap ke arahku, Ibu. Dia mengepakkan sayapnya. Bukankah kau pernah bercerita tentang seorang ibu yang berubah menjadi seekor bangau karenaingin melihat anaknya? Katamu cerita itu pernah terjadi zaman dahulu.

Lihat, Ibu! Bangau itu menatapku terus. Marahkah dia? Tapi bangau itu tak bersayap merah seperti dalam ceritamu.* Apakah itu kau, Ibu? Lantas mengapa kau tak bersayap merah? Apa kau tidak marah lagi padaku? Sayap bangau itu sangat putih, bersih. Ibu, kau kah itu? Jika benar mengapa kau tidak marah? Aku ingin kau marah. Aku ingin makianmu, Ibu. Mana suaramu yang selalu mengejekku dahulu?

Mataku terus menatap bangau yang bertengger di sisa jendela kamar ibu. Tanpa terasa ada bening mentes di pipiku. Bening itu sangat sejuk. Semakin lama semakin deras. Lalu perlahan gelap. Mata hari seperti bersembunyi di lagit ke tujuh. Gelap. Sangat gelap. Perlahan kurasakan tubuhku melayang di udara. Sayup-sayup kudengar ada suara ribut yang mendesah, “Dia masih hidup, mari kita larikan ke markas PMI bersama korban yang lain sebelum terlambat.” []

Hari, don’t Cray

Aceh, 2006-2007

*salah satu baris dalam sajak Azhari, “Ibuku Bersayap Merah.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun