Aceh sebagai Serambi Mekkah, Tanah Rencong, Tanah Iskandar Muda, Bumi Syariat Islam, dan lain-lain adalah gelar yang sudah familiar. Kali ini sebut saja gelar baru untuk Aceh. Pertama, Aceh adalah Negeri Tambang. Kedua, ini lebih spesifik yaitu Aceh Negeri Emas.
Kali ini cerita kita tentang Aceh negeri Emas yang penghuninya harap-harap cemas. Sangking kayanya Aceh dengan emas, berbeko-beko, kalau perlu menggunakan pesawat, batu-batu emas Aceh diangkut ke luar. Bukan persoalan larangan, karena kalau dipertimbangkan, Aceh memang kurang sumberdaya ahli pertambangan sehingga masuknya ‘pemain tambang’ dari luar ke Aceh pun menjadi sebuah keniscayaan. Kalaupun Aceh punya orang yang paham tentang tambang, ia lebih suka jadi ‘kaki tangan’ pemian tambang dari luar, dengan alasan bahwa orang luar yang disebut-sebut investor itu lebih kaya dari orang Aceh, walau Aceh digelari sebagai daerah kaya. Kekayaan Aceh mungkin sudah diniscayakan untuk orang masuk.
Waduh, kok jadi menyentil pertambangkan. Baiklah, alur cerita kita kembalikan ke emas. Kemarin, di media terbitan Aceh diberitakan bahwa harga emas menjangkau rekor tertinggi, lebih dari Rp1,6 juta per mayam.
Angka ini jelas saja menjadi gelisah tersendiri bagi anak muda-anak muda Aceh, terutama yang masih lajang ditambah tidak memiliki penghasilan besar seperti penghasilan orang-orang yang bekerja di pertambangan.
Awal dan akhir kegelisahan tersebut menyangkut pernikahan, sebuah akad keabadian dan merupahan titah Tuhan. Cerita demi cerita pemuda lajang mulai mengeluh. Di jejaring sosial serupa facebook dan twitter, bertebaran status wall yang menghujat harga emas. Sebuah keanehan, Aceh negeri emas, tapi orang-orangnya sangat ‘takut’ dengan emas.
Entah bagaimana mengusulkan agar mahar pernikahan digantikan, jangan lagi emas—misalnya boleh ganja, kopi, atau sepeda motor, karena orang Aceh lebih sanggup membeli sepeda motor daripada emas. Pasalnya, emas sudah menjadi kebudayaan di Aceh dalam mengukur nilai perdagangan, termasuk perkara pernikahan.
Ah, gelisah Aceh semakin banyak saja. Dulu gelisah konflik, lalu gelisah laut mencabik-cabik, kemudian gelisah syariat yang diperdagangkan. Belum berakhir gelisah ulah pertambangan, kini para lajang dihantui dengan gelisah emas yang menjadi ‘maop’ bagi sebuah tali pernikahan. Entah iya. Homhai..hehehe… [Herman RN]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H