Opini Herman RN
[Sumber: Serambi Indonesia, 11 Agustus 2010]
ENTAH kalimat ini bermanfaat bilamana tertuju bagi pejabat sehingga patut saya ucap permintaan maaf manakala lalu lancang terangkai kata menjadi surat, yang ini semua berawal dari resah gelisah tatkala mengamati sejumlah bukit di kampong kita lahan perlahan mejadi kawah karena pepohon habis punah hingga tersusunlah beragam gundah membentuk sebuah warkah.
Entah kalimat ini bermanfaat bilamana kujadikan surat ke banyak alamat, terkhusus bagi para penguasa bermartabat, yang oleh sebab arif dan bijak ia kelola janji berulang kali ucap menggunakan istilah “demi rakyat”, tetapi kesejahteraan hanya jadi milik sebagian pejabat, sedangkan rakyat, mulai dari kota hingga yang menetap di pinggiran hutan ulayat, hidup was-was saban saat, bila-bila musim hujan banjir akan menggulung-lipat perumahan mereka, kalau-kalau musim badai angin akan jadi petaka yang tak dapat dihembat, atau saat-saat musim kemarau air akan jadi kerinduan teramat sukar didapat.
Dalam sebuah riwayat berlipat, kampong ini diucap-ucap sempat meraih gemilang teramat sangat, dengan tidak mengorbankan secuil pun harta rakyat apalagi sampai menebang hutan-hutan ulayat, tetapi perekonomian masyarakat tetap meningkat sehingga kemakmuran merata mulai kota sampai kampung-kampung utara selatan timur dan barat.
Bilamana terlalu jauh hal itu untuk diingat, baik kenang saja masa-masa belum lama lewat, semisal ketika tampuk amanat diemban pejabat-pejabat sebelum Tengku dipercayakan oleh rakyat sebagai pemimpin berdaulat. Kendati rata-rata pemimpin negeri ini turun dari tampuk jabat mereka bahkan ada yang sengaja diturunkan oleh masyarakat dengan memalukan sangat oleh musabab tingkah polah yang menjarah kekayaan negara dan harta rakyat, tetapi belum ada di antara para pemimpin itu yang membanggakan program menjual kampongnya sendiri ke orang-orang luar negeri dengan dalih investasi seperti yang sedang Tengku galakkan kini.
Alibi demi alibi Tengku paparkan atas nama membangun kampong ini, tetapi orang-orang kampong kita tidak semuanya terlalu bodoh untuk mengerti makna setiap janji para penguasa, entahlah jika alasan membangun kampong dengan menjual negeri itu dapat diterima para pejabat bawahan Tengku, mulai tingkat dua hingga tingkat bawahan sekali karena masih dapat bagian fee, tetapi masyarakat yang murni hidup dari peluh hasil penat dan semata menggantungkan hidup pada sepetak tanah yang mereka miliki, tentu sangat mafhum karena pejabat memang sudah sering memberikan janji, bukan bukti.
Maka itu, kesedihan amat dalam kian dirasakan rakyat tatkala kesekian kalinya harus berkorban untuk pimpinan padahal pemimpin mereka sedang menggalakkan program ‘berjualan’, mulai besi hingga lahan dan hutan, sedangkan program “pembelian” dilakukan untuk membeli hukum dan tangan-tangan pemegang sanksi sehingga lancar semua lakon dan misi.
Soal Jual Hutan
Soal jual hutan ala Tengku sudah jadi rahasia rakyat apalagi dalam helat temu gubernur sedunia tempo hari, para imum mukim kampong kita sempat Tengku tolak berdaulat, tetapi perkara hutan yang saya paparkan dalam ini surat bukan tentang jual hutan yang itu, melainkan mengenai mudahnya para pemilik dolar mendapatkan izin legal membabat kayu rakyat di banyak lokasi dan tempat.
Data di Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, tahun 2010, terkondisi 1 April, telah tercatat 105 Izin Usaha Pertambangan (IUP) disahkan, dengan pembagian 91 izin eksplorasi dan 14 izin operasi produksi. Pada 91 izin eksplorasi tercatat 55 izin yang belum berakhir dan di sana tertera keterangan catatan ada izn prinsip dari gubernur, meskipun 1 izin di antaranya telah dicabut, selain yang sudah berakhir (36 izin), sedangkan dari 14 izin operasi produksi tercatat semuanya belum berakhir, hanya saja 9 izin yang masih aktif, selebinya 5 izin lagi sudah tidak aktif.
Dari angka 105 IUP tersebut, sebanyak 81 izin telah membayar iuran, baik iuran tetap (80 izin) maupun royalti (1 izin) yang disalurkan melalui rekening KPPN I, rekening Menkeu RI, rekening BPD Aceh, dan rekening KAS Negara, sedangkan 24 izin lainnya dari total 105 IUP tersebut tidak membayar iuran.