BOLEH jadi sebagian orang berlebihan dengan judul tulisan ini. Namun, sekelumit catatan untuk mengenang sang Maestro Jurnalis Rosihan Anwar, dalam apresiasinya terhadap Aceh tentu tidak berlebihan. Apalagi, tokoh yang hidup di enam zaman-Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Revormasi, dan Millenium- ini telah banyak menorehkan tinta pemikiran untuk Indonesia. Aceh sebagai wilayah paling ujung Indonesia pun tak luput dari kaca mata Rosihan Anwar.
Dilahirkan di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, membuat ia akrab dengan Sumatera. Oleh karena itu, Rosihan banyak menulis tentang Sumatera, termasuk soal Aceh. Saya tak perlu menyebutnya satu per satu. Di kepala saya, “Brief Encounter in Aceh” yang pernah dimuat harian Kompas beberapa tahun silam merupakan tulisan fenomenal. Kendati dalam bentuk artikel singkat, tak sampai 1200 kata, tulisan itu telah membuka cakrawala ingatan pembaca bahwa Rosihan Anwar `bermata aceh’ dalam memandang Indonesia.
Pada artikel singkat tersebut, Rosihan menulis tentang pertemuannya dengan beberapa tokoh Aceh, di antaranya Daud Beureueh dan Hasan Tiro. Dua tokoh ini menjadi point off view tulisan Rosihan dalam mencermati Indonesia dari Aceh. Jelas saja, karena kedua tokoh itu sempat dicap “pemberontak” oleh Pemerintah Indonesia, walau kemudian diakui punya derajat kepahlawanan skala nasional.
Dari sudut pandang Beureueh dan Tiro-lah, Rosihan memakai kaca mata Aceh melihat Indonesia. Sebagai orang yang sudah hidup sejak zaman penjajahan Belanda, ditambah predikasinya sebagai juru warta, tentu banyak amatan personal yang dikemukakannya lewat tulisan. Dari beberapa catatannya, dapat dilihat bahwa Rosihan berusaha netral dalam menulis. Akan tetapi, tatkala menulis tentang Aceh-meskipun tidak dapat melepaskan nasionalisnya sebagai putra Indonesia-bagi saya dan mungkin bagi orang Aceh akan memandang pemikiran Rosihan tendensius keacehan.
Lihat kembali “Brief Encounter in Aceh”. Lelaki yang juga dikenal sebagai sejarawan itu mencoba menuangkan pengalamannya saat pertama sekali mengamati Beureueh ketika menyambut Presiden Soekarno di Aceh. Dipaparkannya bahwa benar Soekarno “mengemis” pada Aceh untuk dibelikan pesawat terbang. Tentu saja ini sejarah penting. Secara tegas pula, Rosihan menyatakan kembalinya Beureueh ke pangkuan Ibu Pertiwi bukan sebagai sebuah kekalahan, kendati pula tidak dapat dipandang sebagai sebuah kemenangan.
Suami Siti Zuraida ini mengisahkan pula brief encounter-nya bersama Hasan Tiro. Pertemuan yang berlangsung di New York pada 1954 itu berlangsung dalam sebuah taksi. Hasan Tiro duduk tepat di samping Rosihan. Namun, tak ada cerita menarik seperti kisah pertemuan dengan Beureueh. Brief encounter dengan Hasan Tiro itu benar-benar hanya sebatas duduk bersebelahan dalam taksi. Rosihan hanya mendengar sedikit celetuk Tiro yang anti-Soekarno.
Ada beberapa nama lain dalam brief encounter Rosihan Anwar bersama putra Aceh. Setiap pertemuan, Rosihan mencoba mendalami karakter orang Aceh. Meskipun ada beberapa pendapat yang bertolak belakang dengan hatinya ketika mendengar kisah dari orang Aceh, Rosihan lebih senang diam.
Aceh dan Jawa
Menarik mencoba mempengaruhi pembaca dengan menyebut “Aceh” lalu menyandingkannya bersama “Jawa”. Sejarah berliku sejak DI/TII hingga konflik bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengesankan penyebutan dua nama ini sebagai pertentangan berketurunan. Akan tetapi, mencermati pemikiran Rosihan, sebenarnya tidak demikian selalu.
Dalam sebuah wawancara di TVRI Nasional (1988), Rosihan menyebutkan bahwa Aceh memiliki hubungan silaturrahmi dengan Jawa. Masuknya Islam ke Tanah Jawa (abad XIV) tidak lepas dari juru dakwah dari Pasai, Aceh. Bahkan, Rosihan mengatakan bahwa empat dari sembilan Wali Songo berasal Samudera Pasai. Mereka adala Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat, dan Sunan Bonang. Kenyataan ini pernah pula dilansir Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 15 Maret 1988, halaman 4/Opini).
Dalam wawancara pada film dokumenter Radio Rimba Raya oleh Ikmal Gopi, sosok Rosihan Anwar juga muncul. Ia menceritakan tentang kiprah Aceh untuk Indonesia. Menurut Rosihan, Radio Rimba Raya (RRR) memiliki peran sangat besar dalam menyiarkan “ke-ada-an” Republik Indonesia masa perang. Tatkala Belanda mengumumkan bahwa Indonesia telah takluk, Indonesia sudah selesai, RRR malah menyiarkan Republik masih ada. Pejuangnya masih bergerilya.
Bahwa masih ada rakyat Indonesia dari sudut Aceh mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia disiarkan langsung oleh RRR diakui oleh Rosihan. Siaran RRR itu sampai ke dunia dengan kerja sama sejumlah stasiun radio lainnya yang masih tersisa kala itu. RRR, kata Rosihan, meski berada di Aceh, punya andil membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia.