[caption id="attachment_31047" align="alignright" width="298" caption="ilustrasi bahasa (tpgimages.com)"][/caption] Banyak ahli sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang saling terkait, yang keduanya saling membutuhkan. Selanjutnya, beberapa ahli linguistik sepakat bahwa bahasa memperngaruhi budaya seseorang. Pendapat ini dipopulerkan oleh dua pakar linguistik bernama Edward Sapir dan Benjamin Whorf sehingga teori mereka terkenal dengan sebutan "Teori Sapir-Whorf". Teori ini menyebutkan bahwa bahasa mempengaruhi jalan pikiran manusia yang menuturkan bahasa tersebut. Dengan kata lain, Sapir-Whorf sepakat bahwa bahasa mempengaruhi budaya.
Mereka menyatakan demikian karena menurutnya, apa yang diungkapkan oleh pengguna bahasa mencerminkan kebiasaan si penutur. Contohnya, untuk menyatakan waktu, Indonesia terkenal dengan "jam karet" karena bahasa Indonesia tidak menunjukkan "pembatas waktu" dengan jelas. Beda dengan bahasa Inggris, setiap waktu jelas penandanya sehingga kosa kata yang mengikutinya pun jelas. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris ada kalimat I bought a book dan I buy a book. Kedua kata (bercetak tebal) tersebut memiliki makna yang sama dalam bahasa Indonesia ‘membeli'. Namun, kedua kosa kata tersebut diletakkan dalam konteks waktu yang berbeda. Bough digunakan untuk waktu yang sudah berlalu (past tense), misal I bought a book yesterday ‘saya membeli buku kemarin', sedangkan buy digunakan untuk menyatakan waktu sekarang (present), misal I buy a book today ‘saya membeli buku hari ini'.
Selanjutnya, dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata "nanti" untuk menyatakan waktu. "Nanti saya kembalikan uangmu." Kata "nanti" di sini tidak jelas batas waktunya. Boleh jadi masih pada hari yang sama, boleh jadi pula hari berikutnya atau hari berikutnya lagi yang tak jelas kapan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, penanda-penanda waktu demikian jelas posisinya. Karena itu, budaya "jam karet" diasumsikan hanya untuk orang Indonesia, meskipun dalam tindakan nyata, masih ada orang Barat yang juga tak menepati waktu dalam berjanji seperti yang saya alami bebera[a waktu lalu saat presentasi beasiswa dari salah satu lembaga penyalur beasiswa luar negeri. Namun, sudahlah, tulisan ini bukan hendak mengungkit masalah orang yang tidak menepati janji, melainkan sekedar studi linguistik dalam kaitannya dengan kebudayaan.
Kontes Lokal
Studi dalam konteks lokal di sini saya maksudkan dalam kearifan masyarakat Aceh. Pada masyarakat Aceh juga terdapat persoalan bahasa yang mempengaruhi budaya seperti dimaksudkan Sapir-Whorf di atas. Dalam bahasa Aceh di Aceh Barat dan Aceh Selatan, misalnya, untuk menyatakan waktu sehari setelah hari ini (besok) diungkapkan singöh beungöh yang bila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia bermakna ‘besok pagi'. Padahal, kata singöh beungöh yang dimaksud penutur bahasa Aceh di pantai Selatan tersebut tidak terbatas waktunya hanya pada pagi hari, tetapi dapat juga siangnya, sorenya, atau bahkan malamnya. Misal dalam kalimat "Singöh beungöh tameurumpok lheuh asa" ‘Besok (pagi) kita bertemu sehabis asar'. Nah, di sini kerancuannya, pagi dan asar tentu penanda waktu yang berbeda. Disebutkan pagi, kok waktunya bisa setelah asar? Apakah ungkapan ini akan berpengaruh kepada kebudayaan masyarakat Aceh Selatan? Pasalnya, dalam bahasa Aceh pada masyarakat Aceh pantai utara, mengutarakan besok (sehari setelah hari ini) cukup dengan kata singöh. Jika diucapkan singöh beungöh, masyarakat Aceh di pantai utara dan timur akan mengartikannya sebagai ‘besok pagi', waktunya benar-benar sebelum siang. Sayangnya, pembatas waktu pagi dari jam berapa sampai jam berapa, pada masyarakat Aceh juga tidak jelas. Terkadang pukul 12.00 WIB juga disebutkan beungöh ‘pagi', sebab untuk mengucapkan menjelang siang dalam bahasa Aceh tidak ada. Yang ada hanya cöt uroe ‘siang', yang apabila hendak diartikan, maknanya lebih kurang ‘tepat tengah hari/ sekitar pukul 13.00 WIB'.
Dalam konteks ini, apakah bagi masyarakat Aceh di pantai utara juga memiliki budaya "jam karet" sehingga tidak jelas penanda waktu yang tepat untuk kata beungöh?Atau "jam karet" itu milik masyarakat Aceh di pantai barat dengan mengucapkan penanda waktu pagi (beungöh) tetapi masih dapat ditunaikan pada siang atau sorenya?
Dalam teori Sapir-Whorf, kebiasaan tersebut timbul dari bahasa sehingga ia menegaskan berkali-kali bahwa bahasa mempengaruhi budaya (kebiasaan). Sekilas kita boleh setuju dengan pendapat Sapir-Whorf tersebut dengan beberapa contoh kasus di atas. Namun, jika melihat pembentukan bahasa yang juga lahir dari pola pikir manusia, teori tersebut masih dapat dibantah.
Saya misalkan begini, karena dalam masyarakat Inggris tidak berbudaya (biasa) makan nasi, mereka tidak memiliki kosa kata yang lengkap untuk menyatakan beras, gabah, padi, dan nasi. Dalam bahasa Inggris hanya ada satu kata untuk itu semua, yakni rice. Contoh lainnya, pada masyarakat Eskimo, karena sudah berbudaya ‘hidup' dalam salju, mereka memiliki kosa kata bermacam untuk menyatakan jenis-jenis salju, sedangkan dalam bahasa Indonesia-termasuk Aceh-hanya ada kata "salju" untuk menyatakan salju dengan beragam jenisnya.
Laantas, apakah dalam konteks ini masih dapat disebutkan bahwa bahasa mempengaruhi budaya penutur, sedangkan ketiadaan suatu budaya di suatu daerah telah menyebabkan ketiadaan kosa kata untuk mengutarakan budaya atau yang mewakili budaya tersebut?
Kasus lainnya, pada kata car ‘mobil'. Masyarakat Eropa mulanya kewalahan menyebut nama terhadap benda yang larinya kencang tersebut. Benda itu adalah mobil. Namun, karena dalam bahasa Inggris ada kata chariot yang maknanya ‘kuda perang yang larinya kencang', akhirya disesuaikanlah kata yang tepat untuk menyatakan benda yang lebih kencang larinya dari seekor kuda. Maka, kata yang digunakan untuk menyatakan benda tersebut adalah car yang diambil dari kata chariot (baca: Mansoer Pateda, 2001).
Hal ini jelas memperlihatkan bahwa tidak selamanya bahasa itu mempengaruhi budaya. Namun, adakalanya budaya yang mempengaruhi bahasa. Menjadi wajar manakala teori Sapir-Whorf dipertanyakan untuk saat ini. Bahkan, dalam tindakan sehari-hari, kebanyakan budaya duluan ada dibanding bahasa. Saya misalkan lagi, untuk membajak sawah, dalam masyarakat Aceh ada yang namanya langai. Benda itu tentunya semula tidak ada nama. Setelah bendanya tercipta dan menjadi kebiasaan manusia membajak sawah dengan benda tersebut, barulah kemudian muncul nama (bahasa) untuk menyebut benda dimaksud. Oleh karenanya, sejauh ini saya berkesimpulan, teori Sapir-Whorf masih perlu didiskusikan kembali sebagai sebuah disiplin sosiolinguistik. Wallahu'alam.