Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Adat Meublang, Mitos atau Kearifan

19 Desember 2009   18:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:52 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adat meublang adalah salah satu adat yang dimiliki masyarakat Aceh. Sebagai masyarakat yang terkenal menjunjung tinggi budaya leluhur, ureueng Aceh memiliki keberagaman adat dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja, masyarakat yang mendiami Aceh sekarang-kemungkinan masyarakat Aceh asli-sudah mulai kurang memahami antara adat dengan yang hanya merupakan sebuah kebiasaan semata (reusam). Ada pula yang mulai menganggap adat sebagai mitos belaka, terutama bagi sebagian orang yang mengklaim dirinya telah berpikir maju alias modern. Akibatnya, kearifan sebagai adat atau tradisi hanya kamuflasi mistik alias terbelakang.

Bagi sebagian ureueng Aceh, adat tetaplah sebuah kearifan yang mesti dijaga, dilestarikan, dijalani, dan diterapkan dalam kehidupan sebagai bagian dari ‘norma kedamaian. Karena itu, bagi yang melanggar adat dikenakan sanksi yang telah disepakati dalam kawasan masyarakat adat dimaksud, tentu saja sanksi adat satu daerah dengan daerah lain berbeda. Namun, inti dari sebuah pelanggaran adat adalah "malu" merupakan sebuah keseragaman. Hal ini senada dengan hadih maja meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malèe bak donya ‘melanggar hukum (syar'i) besar akibat, melanggar adat malu di dunia'.

Tingginya nilai-nilai adat dalam masyarakat Aceh tercermin pula dalam bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni panglima uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti petua seuneubôk, keujruen blang, pawang glé, dan sebagainya.

Dalam sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi petua seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi petua seuneubôk menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap keujruen blang.

Menurut qanun nomor 10 tahun 2008 pasal 32, petua seuneubôk dipilih oleh masyarakat dalam kawasan hutan yang telah "dilahankan" tersebut, yang ditentukan dalam musyawarah masyarakat kawasan seuneubôk dimaksud. Seorang petua seuneubôk mempunyai tugas (a) mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam kawasan seuneubôk; (b) membantu tugas pemerintah bidang perkebunan dan kehutanan; (c) mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat dalam wilayah seuneubôk; (d) menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah seuneubôk; dan (e) melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah seuneubôk.

(bersambung...........)

Oleh Herman RN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun