Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Adat Meublang, Mitos atau Kearifan (2)

20 Desember 2009   17:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:51 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

oleh Herman RN

Adat Membuka Lahan

Berbicara masalah adat identik dengan aturan-aturan di suatu tempat/daerah/wilayah. Dalam pembukaan lahan untuk bercocok tanam, bagi ureueng Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Aturan-aturan tersebut dimisalkan terhadap tata cara penebangan kayu hutan seperti tidak boleh menebang kayu-kayu besar yang menjadi tempat bersarang lebah (tawon). Hal semacam ini sudah menjadi pantangan umum yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak.

Kearifan ureueng Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue). Semua aturan ini sudah menjadi ketetapan lembaga adat suatu daerah demi menjaga keberlangsungan hidup alam dan masyarakat di daerah tersebut. Jika aturan-aturan ini dilanggar, panglima uteuen sebagai instansi adat berhak menjatuhkan sanksi kepada si pelanggar atau imbasnya akan mendera masyarakat banyak semisal banjir dan turunnya binatang buas ke pemukiman penduduk.

Adat semacam ini terkesan mulai dikesampingkan dengan dalih zaman sudah maju sehingga semua aturan-aturan yang sudah lestari dalam masyarakat adat itu dianggap sebagai mitos. Akibatnya, saat ini terdapat daerah-daerah rawan banjir dan daerah-daerah rawan binatang buas.

Manakala adat semacam itu dianggap mitos, bagaimana pula dengan hadih maja tanoh sih'èt u timu pusaka jirat/ sih'èt u barat pusaka papa/ sih'èt u tunong geulantan/ sih'èt u seulatan pusaka kaya ‘tanah miring ke timur pusaka kubur/ miring ke barat pusaka papa/ miring ke utara tanah menang/ miring ke selatan pusaka kaya'. Tentu kearifan yang tergambar dalam hadih maja tersebut akan dianggap oleh orang-orang yang mengaku berpikir maju sebagai mistik yang dibuat-buat atau kepercayaan yang ditambah-tambah. Padahal, maksud kata-kata bijak tersebut jelas menyiratkan betapa letak kemiringan tanah sangat berpengaruh pada hasil tanam karena menyangkut siklus edar cahaya matahari. Bukankah di alam ini terdapat ilmu semesta?

Pantangan

Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang, jambô tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan akan mengundang ular masuk ke jambô tersebut.

Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota suneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).

Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.

Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena ureueng Aceh kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan "hari-hari agama" seperti Jumat, hari meugang (uroe makmeugang), hari raya fitri dan adha (uroe raya), termasuk hari rabu abéh (rabu terakhir pada bulan Safar). Dilarang juga masuk kebun bak uroe pring atau kom (hari libur), yakni sehari setelah peutua blang simula (keujruen menanam padi). Hari khanduri meulôd (memperingati kelahiran nabi Muhammad saw.) juga menjadi hari yang pantang masuk hutan, baik dalam konteks berkebun, menebang kayu, maupun berburu binatang. Jika hari-hari yang sudah disepakati sebagai "hari pantang meublang" ini kedapatan ada yang masuk hutan, akan dijatuhkan sanksi adat di bawah kendali panglima uteuen. Ini membuktikan betapa kukuhnya instansi adat dalam masyarakat Aceh. Namun, semua ini mulai luntur, terutama daerah-daerah perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun