Hutan, lahan, maupun sumberdaya alam yang dikandungnya merupakan alat produksi utama bagi masyarakat adat yang mata pencaharian utamanya adalah berladang dan menggunakan hasil hutan.
Karena itu, peran lembaga adat di gampông-gampông menjadi penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Struktur pemerintahan adat mesti digerakkan dengan sumberdaya yang didapat dari hasil pengelolaan atas hutan dan dumberdaya tersebut sendiri. Sistem pembagian hasil nantinya diatur dalam hukum adat, termasuk penentuan wilayah hutan mana yang bisa dikelola oleh masyarakat setempat. Jika ini tidak dilakukan, kehancuran hutan adat di suatu gampông akan sangat mudah terjadi.
Kehancuran tersebut bukan hanya berupa penebangan secara liar, perdagangan karbon yang dihasilkan oleh hutan juga akan memicu kehancuran hutan dan sumberdayanya. Patut diingat, perdagangan karbon merupakan mekanisme yang telah disepakati dalam Kyoto Protocol dan dilanjutkan dalam acara Bali Conference tahun 2007 lalu. Kebijakan ini lahir atas respon terhadap meningkatnya emisi karbon di udara yang menyumbang terhadap perubahan iklim dan efek rumah kaca. Dalam kaitan ini, hutan Aceh telah menjadi paru-paru dunia yang perlu dijaga keberlangsungan ekologinya sebagai penyerap emisi karbon di angkasa.
Di samping Aceh, hutan yang menjadi paru-paru dunia saat ini ada di Papua. Artinya, Indonesia telah menjadi napas dunia. Sementara itu, negara pencemar hutan terbesar adalah Negara Adidaya Amerika Serikat, Cina, dan negara-negara industri maju lainnya. Oleh karenanya, perdagangan karbon mesti menjadi model konpensasi yang harus dibayar negara-negara maju. Namun, masalah yang muncul tidak sesederhana bahwa adanya konpensasi akan menjamin keberlangsungan pencegahan efek rumah kaca. Masalah utama muncul dalam skema kebijakan negara dan pola relasinya dengan stakeholders.
Indonesia dalam era transisi pasca-otoritarian ternyata mengalami pelembagaan pola predatoris dalam kebijakan seiring dengan liberalisasi ekonomi dan politik yang dianut. Dengan demikian, jaminan lahirnya kebijakan yang partisipatif dan mengakomodasi tuntutan dari masyarakat masih diragukan. Khususnya dalam perdagangan karbon, konservasi daerah hutan bisa saja difungsikan untuk mengeruk keuntungan semata dan menambah income negara. Besarnya kucuran dana akan gagal dalam implementasi yang semata disebabkan karena lemahnya gagasan paradigmatic pemerintah dalam mengelola potensi hutan. Hal ini semisal aksi illegal logging maupun jual beli izin usaha yang telah membuktikan hancurnya ekologis hutan di Indonesia menjadi tali rante kebijakan yang alih-alih mengutamakan perlindungan masyarakat lokal. Akibatnya, skema perdagangan karbon masih menjadi agenda yang membutuhkan perombakan infrastruktur kebijakan menuju pengagendaan kebijakan ekologis yang berkelanjutan dan legitimate di level masyarakat.
Bali Conference
Demi keberlangsungan hutan tropis di Indonesia dan beberapa negara berkembang, sejumlah pakar telah duduk dalam Bali Conference tahun 2007. Ini merupakan salah satu bentuk upaya dari masyarakat global untuk menemukan langkah bersama dalam mengatasi krisis lingkungan. Dari sana lahir sebuah kesepakatan tentang skema yang bisa dilakukan untuk menjaga hutan tropis dunia. Di antara kesepakatan itu adalah Program Reduction of Emition, Deforestation, and Degradation (REDD). Di dalamnya termasuk juga kesepakatan untuk mengimplementasikan program Carbon Trade.
Pertemuan itu menyepakati bahwa negara-negara pemilik hutan tropis bisa mendapatkan pemasukan melalui pengolahan hutan. Pengolahan yang dimaksudkan adalah konservasi, bukan eksploitasi. Melalui skema ini, di satu sisi lingkungan tetap terjaga, di sisi lain, negara-negara dunia ketiga bisa mendapatkan sumber pendapatan yang mereka perlukan untuk mendorong laju perekonomian negaranya.
Di samping itu, Pemerintah Aceh juga telah membuat konsekwensi dengan Carbon Conservation Pty Ltd. yang menyatakan masyarakat tidak bisa serta merta menerima emisi karbon, terutama yang tinggal di dan sekitar kawasan Ulu Masen Ecosystem, sebagai stakeholders utama.
Dengan demikian, dampak REDD yang terjadi berdasarkan penelitian lapangan dan Focus Group Discussion (FGD) yang telah dilakukan disimpulkan bahwa secara umum REDD dan Carbon Trade menjadikan terputusnya akses masyarakat adat, terutama yang tinggal di dan sekitar kawasan Ulu Masen Ecosystem, terhadap hutan yang menjadi sumber penghidupannya.
Karena itu, peran lembaga adat di tingkat bawah menjadi penting difungsikan. Sejatinya, struktur mukim dan gampong muncul sebagai upaya pengelolaan common resource pool, bisa jadi hutan atau laut dan pertukaran hasil dari common resource pool tersebut dilakukan dalam bentuk adanya Haria Pekan. Terlepas dari berbagai variasi substansi yang muncul di antara mukim atau gampong satu dengan mukim atau gampong yang lain, bisa dikatakan prinsip itulah yang mendasari dan memberikan legitimasi bagi munculnya struktur mukim dan gampong.