[caption id="attachment_160387" align="alignright" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (Serambi Indonesia/M Anshar)"][/caption] Lembaga International Organization for Migration (IOM) pernah mengadakan seminar tentang Polisi Masyarakat (Polmas) pada tahun 2008. Lembaga organisasi dunia untuk migrasi itu menggelar seminar tersebut agar Aceh benar-benar aman dalam artian antara masyarakat dan polisi berdekatan. Atas keresahan mereka yang takut Aceh kembali ribut sehingga mencoba memberikan solusi Polmas itu, keresahan saya pun timbul hingga membuahkan tulisan ini. Semoga saja keresahan sebagai anak Aceh tidak salah jika saya tuangkan di ruang ini. Tak ada seorang manusia normal pun di dunia ini yang menginginkan konflik. Itu sudah pasti. Setiap manusia sudah jelas mengingkan kedamaian. Maka ide dan gagasan menerapkan Polmas di Aceh tentunya perlu mendapat aplaus. Apalagi, Polmas yang dalam istilah Ingggris disebut dengan community policing dikatakan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat (Kamtibmas). Namun, perlu diingat, apa pun istilahnya, yang namanya polisi, di Aceh sudah mendapat tinta merah dalam hati masyarakatnya. Polisi tetap cenderung ditakuti masyarakat. Sedih memang jika kita mengingat semua itu. Polisi yang katanya adalah mitra masyarakat, pelindung dan pengayom masyarakat, mesti ditakuti oleh masyarakat. Siapa yang salah, masyarakat atau polisi? Dari pihak masyarakat sendiri selalu merasa ngeri dengan yang namanya polisi, seolah polisi menjadi ma'op dalam setiap langkah masyarakat, bukan pelindung. Sementara itu, dari pihak kepolisian, mereka selalu merasa bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan di lingkungan masyarakat. Rasa tanggung jawab itu terkadang menimbulkan sikap arogansi dari pihak kepolisian. Saya misalkan saja melalui ilustrasi di bawah ini. Sebuah mobil tersenggol sepeda motor. Karena kejadiannya di jalan raya, polisi yang melihat kejadian itu merasa berkewajiban menangani dengan alasan kenyamanan pengguna jalan raya. Padahal, tanpa polisi, kedua orang tadi sudah sepakat berdamai. Si pembawa sepeda motor berjanji memperbaiki cat mobil yang lecet. Namun, tidak tertutup kemungkinan kasus seperti itu, yang telah dilihat oleh polisi, polisi meminta diselesaikan di kantor polisi, yang ujung-ujungnya bayar denda kepada polisi. Hal-hal kecil seperti inilah yang membuat masyarakat takut kepada polisi. Ditambah lagi membaca palang-palang atau pamflet milik kepolisian, semisal "Awas! Kantor Polisi!, Hati-hati, Anda Memasuki Kawasan Polisi Militer," dan beragam tulisan serupa yang pada intinya memperingatkan masyarakat agar hati-hati dan awas diri dengan polisi. Jika hal seperti ini mesti dipertahankan, sampai kapan polisi dapat bermitra dengan masyarakat? Gaya lain dari polisi adalah menganggap dirinya sangat profesional dalam menegakkan hukum. Hal itu terkadang mengesankan seolah polisi sangat lebih tahu soal hukum sehingga jika terjadi sesuatu dalam kehidupan bermasyarakat, polisi merasa berkewajiban ikut campur. Padahal, Inggris yang pertama sekali menerapkan sistem perpolisian tidak menganut paham seperti itu. Namun, Indonesia yang mencontoh Inggris harus memiliki polisi untuk kemaman lingkungan masyarakat, merasa lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan masyarakat. Rasa lebih tahu inilah yang membuat polisi cenderung dibenci oleh masyarakat. Di Inggris, patroli polisi dilakukan dengan sepeda dan jalan kaki pada setiap desa secara tetap. Polisi berkantor dan tinggal di desa. Semua itu bertujuan untuk mendekatkan diri dengan masyarakat sehingga polisi dapat menjadi mitra masyarakat. Sementara di Aceh, polisi patroli dengan mobil dinasnya, lalu membunyikan klakson yang menakutkan sehingga setiap melihat mobil polisi, masyarakat akan menyingkir ke tepi. Belum lagi mengingat sejarah patroli reo di zaman konflik di negeri ini. Sangking takutnya masyarakat kepada polisi atau tentara, masyarakat dapat menghapal reo siapa yang lewat. Jika klaksonnya berbunyi sekali tapi panjang, itu berarti reo tentara. Jika klaksonnya tiga kali, berarti reo polisi/Brimob. Sangking takutnya kepada polisi/tentara, masyarakat dapat menghapal reo siapa yang lewat hanya melalui bunyi klaksonnya. Maka saat itu, masayarakat hanya bisa mengintip dari sebalik gorden, menanti reo berlalu. Apakah ini yang dimaksudkan dengan aman berkat adanya polisi? "Adaya polisi mesti berbaur dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Karena itu, polisi adalah mitra masyarakat yang dapat memberikan kenyamanan dalam kehidupan warga masyarakat," kata peneliti Polmas, Irjen Pol (Purn) Ronni Lihawa, dalam seminar oleh IOM itu. Berbicara keamanan dan kenyaman di Aceh, hemat saya justru setelah adanya polisi, masyarakat semakin was-was. Sudah Selsai Untuk kasus Aceh, masalah pengaturan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat sebenarnya sudah selesai sejak dahulu kala. Katakanlah sejak kegemilangan Aceh, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Di sana semua institusi hukum dan adat sudah terbentuk sehingga semua lini kehidupan masyarakat terjamin aman dan tenteram. Secara umum, semua itu termaktub dalam adat bak poteu Meureuhôm, hukôm bak Syiah Kuala; qanun bak Putro Phang, reusam bak lakseumana/bintara. Dalam lingkup lebih kecil, di Aceh kita mengenal adanya Panglima Uteuen yang mengatur segala sesuatu tentang hutan dan kehutanan, yang di dalamnya juga ada Pawang Rimueng, Pawang Rusa, Pawang Bui, dan sejenisnya. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan hutan dan seisinya di Aceh, yang mana Aceh kala itu memang dikeliling dengan hutan sehingga dikatakan dengan rimba raya. Sekarang saja hutan Aceh habis dibabat sehingga kita mengenal istilah banjir dan erosi, serta illegal logging. Selanjutnya, untuk mengatur masalah pertanian dan perkebunan, di Aceh sudah ada Kujruen Blang, yang di dalamnya ada Pawang Glé. Untuk mengatur masalah laut dan segala devisa dari kelautan sudah ada Panglima Laôt.Untuk mengatur masalah pasar, sudah ada Haria Peukan. Dia mengatur segala ketertiban pasar, pajak, dan sejenisnya. Nah, untuk tingkat keaman dan kenyaman di gampông pun, Aceh memiliki struktur adat yang sangat kuat. Aceh memiliki geuchik sebagai kepala pemerintahan di tingkat gampông, imuem mukim untuk tingkat mukim. Di samping itu, Aceh juga memiliki tuha peut dan tuha lapan sebagai instusi adat yang jika setarakan dengan DPR dan MPR, mereka adalah sama. Tuha peut adalah Dewan Perwakilan Rakyatnya dan tuha lapan merupakan Majelis Permusyawaratan Rakyatnya. Semuanya dipilih oleh masyarakat secara langsung, yang segala sesuatunya dilakukan dengan musyawarah. Tidak seperti polisi yang menganut sistem sentralistik. Jika semua institusi adat di atas dijalankan dengan sebaik-baiknya, kita (baca: Aceh) tidak perlu lagi mengenal istilah polisi, dinas pertania, dinas pasar, dinas perkebunan, dan sebagainya, karena semunya sudah ada yang mengatur di Aceh, yang dipilih dan ditunjuk langsung oleh masyarakat setempat. UU RI No.5/1979 Penghancur Semua institusi pemerintahan adat mukim dan gampông di atas hancur sejak diterapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979. Undang-undang yang dicetuskan pada masa Orde Baru ini menyamaratakan semua sistem pemerintahan di Aceh dengan semua wilayah yang ada di Indonesia. Sistem pemerintahan menjadi sentralistik, di mana mukim dan gampông dileburkan menjadi istilah desa, lalu kebijakan hanya ada di tingkat atas, sementara masyarakat Aceh terus menjadi imbas kebijakan sepihak sentralistik Indonesia. Pemerintah mulai melegalkan HPH sehingga hutan Aceh hancur. Sedih memang bila mengenang semua itu, yang ujung-ujungnya akan menimbulkan benci dan dendam kepada Negara Republik ini. Tapi sudahlah, tulisan ini bukan hendak membakar api dendam yang sudah lama kita padamkan. Melaui tulisan ini, saya hanya berharap, institusi adat di tingkat mukim dan gampông bisa kembali dijalankan semana mestinya. Permainan Lama Istilah Polmas saya kira hanya pergantian nama saja dari istilah lama. Jika yang dimaksudkan Polmas adalah polisinya masyarakat yang dipilih dari masyarakat setempat, makanya tidak diberikan gaji dan senjata, gaya ini sudah pernah diterapkan di Aceh masa Orba. Saat itu kita diperkenalkan istilah Pertahanan Sipil (Hansip), Keamanan Rakyat (Kamra), Perlawanan Rakyat (Wanra). Semuanya diambil dari masyarakat desa setempat, yang tidak dipersenjatai, kecuali sebuah pentungan kayu. Namun, perlu diingat, ruang gerak Hansip, Kamra, maupun Wanra, tetap bermuara kepada polisi. Sistem sentralistik tetap tidak berubah. Untuk itu, saya katakan, Polmas hanya istilah baru dari permainan lama sistem pemerintahan ini. Yang diperlukan Aceh sekarang adalah diaktifkannya kembali intitusi adat di tingkat mukim dan gampông. Mereka juga memiliki sanksi hukum, bahkan sanksi adat bagi si pelanggar keamanan dan kenyaman di wilayahnya. Makanya dalam hadih maja Aceh dikenal istilah meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malè bak donya. Jikaisntitusi adat itu diterpakan kembali, pencuri ayam tidak mesti lagi dikurung dan dipukul dalam penjara, lalu hanya mendapatkan makanan sisa, sedangkan pencuri uang rakyat semakin bertebaran di mana-mana, karena yang paham tentang masyarakat di suatu tempat adalah orang-orang yang dipilih oleh masyarakat setempat, yang berbaur bersama masyarakat setempat. Jika lembaga-lembaga adat tersebut diaktifkan, masihkah Aceh butuh Polmas? Oleh Herman RN, Aktivis Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H