Tulisan ini terinspirasi setelah saya mengikuti seminar tentang Polisi Masyarakat (Polmas) yang diadakan oleh International Organization for Migration (IOM) pada 24 April lalu. Lembaga organisasi dunia untuk migrasi itu mengadakan seminar tentang perpolisian masyarakat yang katanya sebagai jembatan antara masyarakat dengan polisi, dengan tujuan agar Aceh benar-benar aman. Atas keresahan mereka yang takut Aceh kembali ribut sehingga mencoba memberikan solusi Polmas itu, keresahan saya pun timbul hingga membuahkan tulisan ini. Semoga saja keresahan sebagai anak Aceh tidak salah jika saya tuangkan di ruang ini.
Tak ada seorang manusia normal pun di dunia ini yang menginginkan konflik. Itu sudah pasti. Setiap manusia sudah jelas mengingkan kedamaian. Maka ide dan gagasan menerapkan Polmas di Aceh tentunya perlu mendapat aplaus. Apalagi, Polmas yang dalam istilah Ingggris disebut dengan community policing dikatakan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat (Kamtibmas). Namun, perlu diingat, apa pun istilahnya, yang namanya polisi, di Aceh sudah mendapat tinta merah dalam hati masyarakatnya. Polisi tetap cenderung ditakuti masyarakat.
Sedih memang jika kita mengingat semua itu. Polisi yang katanya adalah mitra masyarakat, pelindung dan pengayom masyarakat, mesti ditakuti oleh masyarakat. Siapa yang salah, masyarakat atau polisi?
Dari pihak masyarakat sendiri selalu merasa ngeri dengan yang namanya polisi, seolah polisi menjadi ma'op dalam setiap langkah masyarakat, bukan pelindung. Sementara itu, dari pihak kepolisian, mereka selalu merasa bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan di lingkungan masyarakat. Rasa tanggung jawab itu terkadang menimbulkan sikap arogansi dari pihak kepolisian. Saya misalkan saja melalui ilustrasi di bawah ini.
Sebuah mobil tersenggol sepeda motor. Karena kejadiannya di jalan raya, polisi yang melihat kejadian itu merasa berkewajiban menangani dengan alasan kenyamanan pengguna jalan raya. Padahal, tanpa polisi, kedua orang tadi sudah sepakat berdamai. Si pembawa sepeda motor berjanji memperbaiki cat mobil yang lecet. Namun, tidak tertutup kemungkinan kasus seperti itu, yang telah dilihat oleh polisi, polisi meminta diselesaikan di kantor polisi, yang ujung-ujungnya bayar denda kepada polisi. Hal-hal kecil seperti inilah yang membuat masyarakat takut kepada polisi. Ditambah lagi membaca palang-palang atau pamflet milik kepolisian, semisal "Awas! Kantor Polisi!, Hati-hati, Anda Memasuki Kawasan Polisi Militer," dan beragam tulisan serupa yang pada intinya memperingatkan masyarakat agar hati-hati dan awas diri dengan polisi. Jika hal seperti ini mesti dipertahankan, sampai kapan polisi dapat bermitra dengan masyarakat?
Gaya lain dari polisi adalah menganggap dirinya sangat profesional dalam menegakkan hukum. Hal itu terkadang mengesankan seolah polisi sangat lebih tahu soal hukum sehingga jika terjadi sesuatu dalam kehidupan bermasyarakat, polisi merasa berkewajiban ikut campur. Padahal, Inggris yang pertama sekali menerapkan sistem perpolisian tidak menganut paham seperti itu. Namun, Indonesia yang mencontoh Inggris harus memiliki polisi untuk kemaman lingkungan masyarakat, merasa lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan masyarakat. Rasa lebih tahu inilah yang membuat polisi cenderung dibenci oleh masyarakat.
Di Inggris, patroli polisi dilakukan dengan sepeda dan jalan kaki pada setiap desa secara tetap. Polisi berkantor dan tinggal di desa. Semua itu bertujuan untuk mendekatkan diri dengan masyarakat sehingga polisi dapat menjadi mitra masyarakat. Sementara di Aceh, polisi patroli dengan mobil dinasnya, lalu membunyikan klakson yang menakutkan sehingga setiap melihat mobil polisi, masyarakat akan menyingkir ke tepi. Belum lagi mengingat sejarah patroli reo di zaman konflik di negeri ini. Sangking takutnya masyarakat kepada polisi atau tentara, masyarakat dapat menghapal reo siapa yang lewat. Jika klaksonnya berbunyi sekali tapi panjang, itu berarti reo tentara. Jika klaksonnya tiga kali, berarti reo polisi/Brimob. Sangking takutnya kepada polisi/tentara, masyarakat dapat menghapal reo siapa yang lewat hanya melalui bunyi klaksonnya. Maka saat itu, masayarakat hanya bisa mengintip dari sebalik gorden, menanti reo berlalu. Apakah ini yang dimaksudkan dengan aman berkat adanya polisi?
"Adaya polisi mesti berbaur dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Karena itu, polisi adalah mitra masyarakat yang dapat memberikan kenyamanan dalam kehidupan warga masyarakat," kata peneliti Polmas, Irjen Pol (Purn) Ronni Lihawa, dalam seminar oleh IOM tiga hari lalu. Berbicara keamanan dan kenyaman di Aceh, hemat saya justru setelah adanya polisi, masyarakat semakin was-was.
Sudah Selsai
Untuk kasus Aceh, masalah pengaturan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat sebenarnya sudah selesai sejak dahulu kala. Katakanlah sejak kegemilangan Aceh, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Di sana semua institusi hukum dan adat sudah terbentuk sehingga semua lini kehidupan masyarakat terjamin aman dan tenteram. Secara umum, semua itu termaktub dalam adat bak poteu Meureuhôm, hukôm bak Syiah Kuala; qanun bak Putro Phang, reusam bak lakseumana/bintara.
Dalam lingkup lebih kecil, di Aceh kita mengenal adanya Panglima Uteuen yang mengatur segala sesuatu tentang hutan dan kehutanan, yang di dalamnya juga ada Pawang Rimueng, Pawang Rusa, Pawang Bui, dan sejenisnya. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan hutan dan seisinya di Aceh, yang mana Aceh kala itu memang dikeliling dengan hutan sehingga dikatakan dengan rimba raya. Sekarang saja hutan Aceh habis dibabat sehingga kita mengenal istilah banjir dan erosi, serta illegal logging.