Oleh Herman RN PEMERINTAH melalui Kemdikbud telah menetapkan pendirian empat Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI). ISBI itu diberikan kepada Provinsi Aceh, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Papua. Proses pelaksanaannya, ISBI Aceh dimandatkan kepada ISI Padangpanjang, ISBI Kalimantan Timur dipercayakan kepada ISI Yogyakarta, ISBI Makasar oleh ISI Surakarta, dan ISBI Papua oleh ISI Denpasar. Kemdikbud meminta setiap institusi seni yang bertanggung jawab mendirikan ISBI itu bekerja sama dengan pemerintah daerah tempat akan didirikan ISBI. Peran pemerintah daerah ditekankan pada penyediaan lahan. Di Aceh, hal ini menjadi silang-sengkarut. Belum ada kepastian lahan ISBI Aceh sampai sekarang. Kepanitiaan masih disibukkan dengan musyawarah dan rapat-rapat dokumen. Dalam masa sengkarut ini, ISI Padangpanjang sebagai penanggung jawab ISBI Aceh malah menyataan akan menghentikan tahapan pendirian ISBI Aceh (Serambi Indonesia, 7/9/2013). Alasannya, Pemerintah Aceh telah membuat SK baru susunan kepanitiaan pendirian ISBI Aceh. Dengan dalih tidak dihargai, ISI Padangpanjang bersikap menghentikan pendirian ISBI Aceh. Menurut Gubernur Aceh, ISI Padangpanjang tidak pernah mengajak Pemerintah Aceh terlibat dalam pelaksanaan pendirian ISBI Aceh seperti dimandatkan oleh Kemdikbud. Pemerintah Aceh mengaku hanya menerima surat tembusan, bukan permintaan kerja sama (Serambi Indonesia, 7/9/2013). Kiranya ISI Padangpanjang salah mencari pintu masuk. Rektor ISI Padangpanjang sekaligus ketua pelaksana ISBI Aceh, Prof. Mahdi Bahar, pada Desember 2012, di Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh, pernah bicara soal pintu masuk ini. Ia mengatakan pihaknya masuk ke Aceh melalui Dewan Kesenian Aceh (DKA). Anggapan Bahar kala itu, DKA sebagai sebuah lembaga resmi di bawah Pemerintah Aceh, mampu membantu pendirian institusi seni di Aceh. Atas dasar alasan ini, sulit menyalahkan ISI Padangpanjang atau Pemerintah Aceh. Jika memang DKA telah diajak bekerja sama, mestinya DKA menjadi penyambung lidah antara ISI Padangpanjang dengan Pemerintah Aceh. Muncul pertanyaan, sejauh mana keterlibatan DKA dalam memfasilitasi ISI Padangpanjang ke Aceh? Sampai saat ini, ada kesan tarik-ulur kepentingan politik dalam proses ISBI Aceh. SK ganda kepanitiaan merupakan isyarat ada yang tidak beres dalam proses ISBI Aceh. Manakala sebuah institusi pendidikan didirikan tidak disertai cita-cita luhur, tentu saja hasilnya kacau-balau. Akibatnya, ISBI belum berdiri, sudah “ricuh” sana-sini. Sibuk musyawarah dokumen Tak sepenuhnya Pemerintah Aceh salah. Sikap Pemerintah Aceh yang telah membuat SK baru dapat dinilai sebagai ‘sindiran’ agar ISI Padangpanjang benar-benar bertanggung jawab terhadap ISBI Aceh. Pasalnya, dua tahun berproses, ISI Padangpanjang hanya disibukkan dengan rapat dokumen melulu. Tidak ada kemajuan dari panitia ISI Padangpanjang, selain duduk memusyawarahkan dokumen dari bulan ke bulan hingga berganti tahun. Awal September kemarin, panitia dari ISI Padangpanjang menggelar duduk bersama di Hotel Permatahati, Aceh Besar. Bulan sebelumnya, mereka sudah duduk di Bukittinggi, Sumatera Barat, membahas dokumen kurikulum. Padahal, 28 Desember 2012, saat seminar hasil dokumen pendirian ISBI Aceh, di Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh, Mahdi Bahar menandaskan bahwa semua dokumen ISBI Aceh sudah rampung. “Kita tinggal menunggu lahan,” begitu kata Bahar kala itu. Sebelumnya lagi, 17-21 Desember 2012, juga ada rapat finalisasi dokumen ISBI Aceh di Hotel Gran Malindo Bukitinggi, Sumatera Barat. Saat itu, Bahar juga menyatakan semua dokumen sudah rampung. Oleh karenanya, aneh tatkala ISI Padangpanjang kembali menggelar rapat dokumen ISBI Aceh pada 19-24 Agustus 2013 kemarin. Pertanyaannya, dokumen apa lagi itu, bukankah dokumen-dokumen ISBI Aceh sudah selesai semuanya? Untuk diingat, pada Juli dan Agustus 2012, tim perumus, pendiri, dan faslitator ISBI Aceh sudah pernah bertemu membahas semua dokumen ISBI Aceh, di Hermes Palace Hotel. Mencermati semua itu, terkesan bahwa pendirian ISBI Aceh hanya jalan pada rapat-rapat dokumen. Uniknya, setiap memusyawarahkan dokumen tersebut, nama-nama tim penyusunnya berubah-ubah. Kini, nama ketua panitia pun juga telah berganti tanpa diketahui pasti kapan penggantiannya. Tahun lalu, ketua umum pelaksana ISBI Aceh dijabat oleh Mahdi Bahar, Rektor ISI Padangpanjang. Pelaksana di Aceh langsung dijabat oleh Ketua DKA. Namun, dalam pertemuan di hotel Permatahati tempo hari disebutkan bahwa ketua pelaksana ISBI Aceh dijabat oleh Sulaiman Djuned, dosen ISI Padangpanjang. Entah kapan perubahan struktur ini dilakukan oleh ISI Padangpanjang. Tatkala ISI Padangpanjang dapat melakukan perubahan struktur kepanitiaan dalam sekedip mata, pantas Pemerintah Aceh merasa berhak pula membuat SK sendiri. Sayangnya, tarik-menarik kepentingan ini telah membuat ISBI Aceh lebih dahulu mati sebelum lahir. Mengatasi ini, Kemdikbud mesti turun tangan. Menyedihkan sekali, ISBI daerah lain sudah mulai berjalan, di Aceh masih disibukkan dengan gonta-ganti kepanitiaan. Sedikit sentilan dari Khalil Gibran, sungguh kasihan bangsa, yang negarawan (dan akademisinya) serigala, filosofinya periuk nasi, senimannya tukang tiru, aktivitasnya ribut melulu. * HERMAN RN, Alumnus Pascasarjana Unsyiah, pengkhidmad seni di Banda Aceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H