Oleh Herman RN
BAGI umat muslim, puasa familiar setiap bulan Ramadan pada hitungan kalender hijriah. Di samping itu, terdapat juga puasa di luar Ramadan, yakni puasa-puasa sunat. Namun, puasa bukanlah milik umat muslim semata. Dalam agama lain pun ada praktik puasa. Agama Hindu, sebagai amsal, penganutnya kerap melakukan puasa sebagai agenda rutin mempersiapkan diri memasuki upacara-upacara ritus keagamaan. Demikian pula dalam agama Buda yang menganjurkan puasa pada hari-hari biasa dengan makan hanya sekali sehari-semalam.
Tentunya masing-masing agama memiliki cara pandang tersendiri soal puasa, mulai perkara waktu hingga tata cara pelaksanaan. Para pakar dan filsuf pun punya nilai tersendiri dalam memandang puasa. Umumnya mereka menyebutkan bahwa puasa memiliki nilai positif yang sangat besar, soal pembersihan diri, belajar menjadi ‘orang miskin’, hingga pada tataran nilai ibadah terhadap Tuhan.
Hemat kata, puasa juga memiliki nilai pendewasaan secara spiritual. Betapa dalam pelaksanaan puasa, manusia dididik menjadi lebih dewasa, meskipun yang melakukan puasa tersebut adalah kanak-kanak. Di antara pendidikan pendewasaan dalam pelaksanaan puasa adanya sikap saling menghormati, baik sesama orang yang berpuasa maupun antara orang berpuasa dengan yang tidak puasa. Bahkan, perempuan yang sedang haid, yang tidak diwajibkan berpuasa, pun tidak akan makan di hadapan orang berpuasa, meskipun yang berpuasa itu hanya anak-anak. Di sinilah mental orang berpuasa dididik menjadi saling menghormati dan mendewasakan diri.
Ada beberapa sikap orang dewasa yang sebenarnya memiliki kesamaan dengan perkembangan sikap anak-anak. Teori perkembangan kepribadian ala Sigmund Freud menyebutkan setidaknya pada usia kanak-kanak terjadi tiga fase perkembangan sikap. Fase-fase tersebut berkaitan dengan mental orang dewasa selama melaksanakan puasa.
Fasepertama adalah fase oral. Anak-anak suka memasukkan apa saja ke dalam mulutnya. Bagi anak, yang penting adalah menggigit dan menelan sesuatu. Ketika ini sudah dapat dilakukannya, ia merasakan kenikmatan tersendiri. Karena itu, kotoran sendiri pun kadang dimasukkanya ke dalam mulut sendiri.
Puasa mengajarkan orang agar dapat menahan diri dari keinginan memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Jika hari-hari biasa, manusia dapat menikmati apa saja ke dalam mulutnya, saat berpuasa mereka terdidik secara spiritual agar dapat menahan diri, bersabar hingga waktu berbuka. Di sini peran puasa melindungi manusia dewasa agar tidak menjadi anak-anak yang senang berlaku oral.
Fase kedua yakni fase anal. Pada fase ini, anak-anak suka bermain dengan kotoran. Tatkala anak buang air kecil atau air besar, ia gemar memainkan hasil pembuangannya tersebut dengan tanganya sendiri. Tahap ini biasanya terjadi pada anak berusia 1-3 tahun.
Bandingkan dengan sikap orang berpuasa. Ia akan berusaha menjaga dirinya dari tingkah anal. Puasa membuat orang berpikir berkali-kali untuk mengerjakan hal-hal yang ‘kotor’. Jangankan melakukan perbuatan tercela, bicara yang tidak senonoh saja sangat dijaganya. Namun, bukan berarti pada hari-hari dan bulan biasa, orang dibenarkan melakukan perbuatan dan pembicaraan tercela. Hanya saja, selama melaksanakan ibadah puasa, rohani manusia benar-benar dibimbing agar jauh dari pembicaraan dan perbuatan cela.
Fase berikutnya pada perkembangan anak adalah fase phallic yang diikuti dengan fase latency. Tahap ini biasa berlaku pada anak usia 3-6 tahun diikuti masa pubertas pertama. Menyukai lawan jenis dianggap sebagai kenikmatan tersendiri oleh anak. Tahap ini pula anak mengalami oedipus complex, yaitu keinginan memainkan kelaminnya.
Orang dewasa juga demikian umumnya. Keinginan kepada lawan jenis menjadi sebuah keniscayaan. Namun, selama pelaksanaan puasa, orang berusaha mencegah dirinya dari rumah-rumah minuman keras dan tempat-tempat penjaja seks komersial. Orang yang berpuasa terdidik dengan sendirinya untuk tidak mendekati tempat-tempat maksiat. Ada penolakan dalam batinnya, meskipun polisi sedang tidak bertugas.
Seperti Anak Kecil
Hal lain yang menarik selama bulan puasa adanya pembalikan posisi. Anak-anak terkadang lebih dewasa, sebaliknya orang dewasa kadang disebutkan sebagai anak-anak. Coba amati kembali hari-hari pelaksanaan puasa sejak hari pertama sampai hari berikutnya. Hari pertama puasa umumnya orang berpuasa cepat merasa lemas, terlebih lagi anak-anak. Hal ini dimaklumi karena baru hari pertama. Oleh sebab itu, orangtua terkadang dengan mudah menyarankan kepada anaknya untuk berbuka, meskipun sebelum sampai waktu. “Nak, hari ini baru hari pertama. Kamu pasti lemas. Berbuka saja, tidak apa-apa.” Barangkali ini kalimat yang paling sederhana diucapkan seorang ibu kepada anaknya. Namun, saran itu dijawab sang anak, “Tanggung, Ma. Sebentar lagi saja. Tiga jam lagi udah buka kok.”
Lihat pula yang berlangsung pada hari berikutnya. Begitu mengamati anaknya sudah lemas, seorang ibu kembali akan menyarankan agar anaknya berbuka. Akan tetapi, si anak dengan mudah menampik dengan berujar, “Kemarin saja Adek sanggup, Ma. Hari ini puasa Adek harus sampai juga.”
Memang, masih terdapat anak yang berbuka puasa sebelum petang. Namun, mencermati sifat anak yang memberikan jawaban bijak seperti di atas kepada orangtuanya merupakan cerminan sikap kedewasaan. Betapa puasa telah mendidik seorang anak berjiwa lebih dewasa. Bandingkan ketika ada orang dewasa ketahuan makan atau minum, meskipun itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi di belakang anak-anak. Minimal sekali seorang istri akan berkata, “Papa tidak puasa, seperti anak-anak saja.” Demikian hebatnya pendidikan kedewasaan spiritual pada puasa. Orang dewasa dianggap lebih ke-anak-anak-an manakala tidak berpuasa.
Herman RN, cerpenis, tinggal di Ulee Kareng, Banda Aceh.
sudah terbit di Aceh Institute.org, 13 Agustus 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H