Sejak lengsernya rezim Soeharto, upaya mengembalikan kepemerintahan lokal yang berdemokrasi bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Demikian Aceh, keberadaan institusi adat pada tataran mukim dan gampông mendapatkan semangatnya kembali.
Betapa tidak, sejak Soeharto mengesahkan UU No.5 Tahun 1979, dengan menyamaratakan seluruh lembaga pemerintahan tingkat bawah bernama desa, keberadaan mukim dan gampông terkesan dikesampingkan. Semangat mengembalikan pemerintahan tingkat lokal ini mendapatkan rohnya kembali tatkala Soeharto berhasil diturunkan.
Dalam perjalanannya, pemerintahan pada era reformasi dalam tempo pendek sebenarnya telah dua kali mengeluarkan kebijakan desentralisasi, yaitu melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 (di bawah Presiden BJ Habibie) dan UU Nomor 32 Tahun 2004 (di bawah Presiden Megawati).
Presiden Megawati sempat memberikan otonomi khusus kepada Provinsi Aceh (UU 18 Tahun 2001) dan kepada Provinsi Papua (UU Nomor 21 Tahun 2001). Lebih jauh lagi pemerintahan SBY-JK sesuai MoU Helsinki menerbitkan UU Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Pemerintah bersama DPR menggodok pula RUU Keistimewaan Yogyakarta yang akan memberikan kewenangan istimewa di bidang politik dan budaya kepada daerah tersebut sesuai dengan tradisinya. Beberapa daerah lainnya seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Bali meminta agar diberikan pula otonomi khusus.
Kelihatan bahwa pembangunan demokrasi lokal akan terwujud dengan kemandirian pemerintahan lokal. Di Aceh, semangat ini menjadi semakin memperlihatkan ‘giginya' dengan tercipta perjanjian damai MoU Helsinky antara GAM dan RI. Perjanjian yang terwujud pascatsunami itu telah membuka ruang pula bagi negara-negara dunia untuk memperkuat demokrasi lokal di Aceh. Hal ini terlihat dari apa yang dilakukan sejumlah NGO, ada yang membuat seminar, workshop, bahkan bantuan secara langsung untuk kemandirian institusi adat pada wilayah mukim dan gampông.
Tak hanya itu, pemerintah Indonesia sendiri men-support keinginan Aceh untuk membangun demokrasi lokalnya. Ini terlihat pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Umum (Pemilu) beberapa waktu lalu. Aceh boleh jadi disebut sebagai satu-satunya daerah yang pertama sekali di Indonesia diberlakukan Pilkadasung dan mendirikan partai politik lokal. Tentu saja ini buah dari perjanjian Helsinki. Dalam nota kesepamahan itu dimuat enam hal untuk Aceh bisa membangun demokrasi lokal. Halyang pertama dimunculkan adalahAceh bebas menyelenggaran pemerintahannya, bahkan Aceh berhak memiliki undang-undang pemerintahan tersendiri.
Dalam undang-undang tesebut (UUPA), Aceh disebutkan berhak memiliki partai politik lokal, menguasai sumberdaya alamnya, dan mengatur sendiri prinsip-prinsip hukumnya. Di sinilah letak gezah demokrasi lokal di Aceh akan membawa dampak positif.
Namun demikian, dampak negatif bukan berarti tidak ada. Konflik berkepanjangan selama sekitar 40 tahun telah menciptakan stereotipe tertentu dalam masyarakat Aceh sehingga kepercayaan pada orang masuk (tamu) semakin berkurang. Ketakutan masa konflik berkepanjangan masih ada sampai sekarang dalam benak masyarakat. Ini merupakan salah satu kendala demokrasi lokal, karena ketakutan membuka mulut adalah bagian dari membungkam sendiri demokrasi.
Di samping itu, kebiasaan militer saat konflik Aceh juga membawa gaya "militerisme" bagi sebagian pemimpin di Aceh, baik di tingkat atas maupun bawah. Tak ayal, sebagian masyarakat menilai pemimpin Aceh cenderung otoriter, kadang pula bersifat tradisional. Sejatinya, ini juga menimpa daerah-daerah lain di Indonesia.
Di sisi lain, kebebasan demokrasi mengatur kepemerintahan sendiri di tingkat lokal, oleh sejumlah pengamat menilai ini bagian dari wujud ‘pembusukan sentralisitik terhadap kebebasan korupsi berjenjang dari daerah'. Akan tetapi, ini tidak dapat dijadikan sebagai landasan ketakutan yang kelak diperbesar, sebab masyarakat sekarang sudah kritis melihat dan menyikapi sesuatu.
Peran demokratisasi dan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No 5/1974 dan UU No 5/1979 telah membangkitkan kesadaran warga tingkat bawah untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Hal ini bukan karena pemerintah pusat, tetapi benar-benar dilandasi oleh kebutuhan warga gampông. Karenanya, kritikan oleh warga tidak hanya ditujukan pada pemerintah pusat, tetapi juga pada kepala daerah sendiri.