[dimuat di Serambi Indonesia, 10 Juni 2010]
Oleh Herman RN
Sebulan sudah pertemuan gubernur sedunia yang membahas tentang hutan Aceh usai digelar. Forum yang diberi namaGuvernors’ Climate and Forest Meeting (GCF) itu ternyata hingga kini belum meninggalkan rekomendasi apa-apa bagi Aceh. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, pemilik wewenang dalam hajatan akbar tersebut terksan ‘diam bebek’, setidaknya hingga tulisan ini dikirimkan.
Disebut-sebut bahwa forum itu akan berdampak besar bagi perubahan masyarakat Aceh, terutama yang menetap di pinggiran hutan, sebab pertemuan gubernur bansigom donya itu membicarakan tentang penjualan hutan Aceh. Oleh karenanya, wajar jika forum tersebut mendapat respon kontra dari mereka yang menamakan diri ‘aktivis lingkungan’. Aksi demo sudah ditunjukkan para aktivis saat pertemuan gubernur tersebut berlangsung.
Ironis, aksi penolakan pada pertemuan tersebut bukan hanya dari masyarakat sipil atau yang mengatasnamakan aktivis lingkungan, tetapi juga dari pemangku adat mukim dan gampông. Tersebutlah 21 dari 23 imum mukim yang diundang untuk menghadiri GCF itu keluar dari Hermes Palace padahal baru hari kedua pertemuan tersebut digelar. Alasannya, imum mukim diundang bukan sebagai pihak terlibat langsung, kecuali hanya sebagai penonton di ruang terpisah. Berita di media menyebutkan pula bahwa gubernur sendiri menolak kedaulatan mukim. Dahsyat raja nanggroe kali ini!
Perut Bumi Dikeruk
Di tengah hiruk pikuknya permasalahan REDD yang dibincangkan dalam pertemuan tersebut, soal beberapa perusahaan tambang yang mengeruk perut bumi Aceh belum juga tuntas. Bahkan, untuk kasus PT Lhong Setia Mining (PT LSM) semakin menghangat. Sejumlah aktivis lingkungan yang tergabung dalam Komite Masyarakat Lhoong bahkan mensinyalir ada saham gubernur dalam PT LSM tersebut sehingga kerja PT itu tidak diberhentikan oleh gubernur. Padahal, masyarakat sudah letih berkoar-koar meminta perusahaan yang dipimpin oleh Jerry Patras tersebut segera ‘diusir’ dari Lhoong, dengan alasan telah mengeruk tanah setempat tanpa analisis dampak lingkungan.
Halnya imum mukim yang walk out dari GCF dengan segala dalih, tentunya gubernur juga punya alasan kuat mengapa PT LSM itu tidak diberhentikan dari operasinya di Lhoong. Hadih maja Aceh menyebutkan “Meunyo hana angèn jipôt panèe patôt suwé meuputa, meunyo hana sapeu jithôt panèe patôt asap meubura.”
Lain gubernur, lain pula lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Dalam sebuah workshop tentang lingkungan yang digelar oleh sebuah LSM lokal di Banda Aceh beberapa hari lalu, perwakilan Walhi mengaku tidak sanggup mengurus kasus dan konflik lingkungan di Aceh. Alasannya, itu menyangkut kepentingan Amerika Serikat (AS). “Kami hanya bisa mendata. Langkah selanjutnya bukan urusan kami. Yang membutuhkan data tersebut, datang ke kantor dan jumpai staf kami bagian pendataan,” demikian ungkapan utusan Walhi tersebut, yang saya kutip dari fesbuk teman saya, Yulfan, Jubir Komite Lhoknga-Leupung. Bukankah ini ungkapan yang sombong? Sayangnya, ucapan itu dikeluarkan oleh dia yang mengaku aktivis lingkungan.
Contoh Lamkruet
Terkait pengelolaan hutan, terutama hutan ulayat atau hutan adat, barangkali Gampông Lamkruet, Kecamatan Lhoknga, patut dicontoh. Pak geuchik setempat yang masih belia itu tidak merasa memiliki hutan Lhoknga, khususnya Lamkruet, kendati dirinya adalah pemimpin di sana. Geuchik Lamkruet sangat sadar pula dirinya pemimpin kawasan yang salah satu hutannya bakal dijual untuk program REDD. Akan tetapi, geuchik tersebut tidak merasa memiliki hutan di sana, melainkan milik masyarakat.
Awal bulan Mei lalu, Gechik Lamkruet mengadakan musyawarah dengan perangkat gampông, membicarakan perihal belukar di Lhoknga, hutan yang sudah lama tidak tersentuh lagi, terutama sekitaran pabrik PT SAI. Hasil konkret dari musyawarah gampông itu adalah mendata kembali pemilik tanah sekitar Lhoknga beserta batas-batasnya. Karena dimungkinkan pemilik tanah yang sudah menjadi rimba di sekitaran PT SAI itu boleh jadi bukan masyatakat Lamkruet semata, geuchik dan perangkat gampông sepakat memuat iklan di media (Serambi). Bunyi iklan itu meminta pihak yang merasa memiliki hutan di sekitaran Lhoknga harap segera melaporkan kepada Panglima Uteuen Lamkruet untuk segera diukur tapal batas.
Apa yang dilakukan oleh geuchik ini bukan semata menyelamatkan hutan, tetapi juga mengangkat kembali marwah panglima uteuen sebagai satu lembaga adat di Aceh yang sudah lama terkesan dinafikan. Setiap masyarakat melaporkan batas-batas kebunnya kepada panglima uteuen untuk diukur kembali berdasarkan bukti-bukti yang ada. Panglima uteuen sendiri terjun langsung ke lapangan menyaksikan pengukuran tersebut. Setelah diukur, pemilik hutan itu diminta membuka kembali kebunnya menjadi lahan tani.
Jika ada pemilik lahan yang tidak sanggup membabat hutan di arealnya, sementara waktu hutan itu diambil alih oleh gampông. Hal ini dilakukan dengan alasan agar kawasan tersebut tidak ‘menghutan’ sedangkan di sekitarnya sudah mulai dibuka perkebunan. Jika ada lokasi yang tetap lebat hutannya, ditakutkan jadi tempat bersarang binatang buas yang bakal menghancurkan kebun warga sekelilingnya.
Jika ini berhasil dilakukan oleh masyarakat Lamkruet, mereka bukan hanya saling berbagi manfaat antarmasyarakat. PT SAI pun akan mendapat imbas. Selama ini, PT SAI beralasan tidak melakukan reboisasi di Lhoknga karena hutan di kawasan itu memang sudah lebat. Nah, tatkala hutan-hutan itu dibabat oleh masyarakat setempat untuk pembukaan lahan, siapa pula berhak melarangnya? Tentunya PT SAI harus melakukan reboisasi, jika hutan itu sudah disulap jadi kebun oleh rakyat.
Artinya, banyak manfaat yang diperoleh masyarakat jika mereka berhasil. Di samping masyarakat punya lahan kerja bersama, lembaga panglima uteuen pun kembali aktif. Untuk itu, Geuchik Lamkruet juga mesti bertindak hati-hati, bahwa masih ada imum mukim di atas panglima uteuen sebagai institusi adat. Soal fungsi dan wewenang pun mesti dilihat kembali. Panglima uteuen atau pawang glé tugasnya hanya mengawasi hutan, sedangkan mengenai pembukaan lahan jadi kerja sineubok. Jadi, geuchik juga mesti tahu mengenai fungsi dan wewenang lembaga adat tersebut.
Terlepas dari itu, yang dilakukan Geuchik Lamkruet patut ditiru oleh geuchik lainnya agar panglima uteuen kembali berfungsi. Tidak tertutup kemungkinan pula lembaga adat lainnya seperti sineubok, haria peukan, keujruen blang, panglima laot terfungsikan juga manakala geuchik, imum mukim, dan masyarakat bersatu sehingga hutan Aceh tidak lagi jadi milik gubernur semata atau tak lagi bertanya siapa sebenarnya pemilik hutan di Aceh.
Penulis adalah aktivis ProDeelat, lembaga penguatan demokrasi lokal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H