Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menyoal Forum Gubernur Sedunia

29 Mei 2010   17:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:53 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

MISI Pemerintah Aceh menjaga sekaligus mengelola hutan Aceh agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat lokal kian menggelinding. Setelah berhasil mengadakan pertemuan bersama gubernur sedunia di Brazil dan California tahun lalu, kini giliran Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, menggelar pertemuan yang sama di Aceh.

Dalam forumGuvernors’ Climate and Forest Meeting (GCF) yang diadakan di Hermes Palace Hotel, dimulai sejak Senin, 17 Mei 2010, itu dibahas tentang pelestarian alam dan implementasi Reduction of Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) untuk hutan Aceh. Disebut-sebut ini adalah misi yang sudah lama diagung-agungkan Gubernur Irwandi Yusuf dalam program Aceh Green untuk melestarikan hutan lindung di Aceh.

Sebelum jadwal pertemuan gubernur sedunia itu, jauh hari Irwandi sudah mengadakan pertemuan dengan imum mukim se-Aceh. Tujuannya agar fungsi imum mukim yang sudah lama hilang kembali muncul. Hal ini berkenaan pula dengan fungsi dan wewenang lembaga adat di Aceh yang memang masih diakui keberadaannya di Aceh meskipun secara dejure lembaga adat itu terkesan dinafikan.

Pertemuan dengan imum mukim se-Aceh mencapai beberapa kesepakatan, satu di antaranya gubernur berjanji menyertakan para imum mukim dalam pertemuan dengan gubernur perwakilan 14 negara pada GCF. Kenyataannya, kehadiran para pemangku adat level bawah itu tidak seperti dijanjikan. Para imum mukim memang dihadirkan di Hermes Palace Hotel, tetapi pada ruangan diskusi terpisah (side event), sedangkan forum GCF digelar dalam ruang tertutup (main event).

Merasa ditipu oleh kepala pemerintahannya sendiri, para imum mukim akhirnya sepakat keluar dari forum tersebut pada Rabu, 19 Mei 2010 padahal pertemuan itu dijadwalkan berakhir Sabtu, 22 Mei 2010. Tentu saja keputusan ini diambil setelah menunggu dua hari ‘kejujuran’ gubernur dalam forum GCF. Kemarah para imum mukim itu dengan melakukan walk out memuncak pada hari ketiga karena merasa ditipu oleh gubernur (Serambi, 20/5).

Tercatat 21 dari 23 perwakilan imum mukim se-Aceh keluar dari forum tersebut pada Rabu siang. Namun, Ketua Majelis Mukim Aceh Besar, Nasruddin, mengaku sudah meninggalkan forum itu sejak Selasa (18 Mei) sore sekaligus keluar dari penginapan Hotel Kuala Raja yang disediakan oleh panitia.

Kepentingan Siapa?

Pertanyaan pertama yang mesti diajukan kepada Kepala Pemerintahan Aceh terkait forum itu adalah soal “kepentingan siapa”: rakyat atau kepentingan kepala pemerintah itu sendiri. Pasalnya, imum mukim sebagai lembaga adat tertinggi di tingkat bawah masih tetap diabaikan keberadaannya. Padahal, soal hutan rakyat, lembaga adat di level bawah lebih memahaminya, baik terhadap tata kelola, alih fungsi, maupun segala macam bentuk pantangan maupun manfaatnnya.

Keberadaan lembaga adat mukim di Aceh sama seperti fungsi nagari di Sumatera Barat, Padang. Mukim adalah lembaga adat di tingkat bawah yang berada di atas gampông. Lembaga ini membawahi beberapa institusi adat yang menangani persoalan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat. Di antaranya ada penglima uteuen yang menangani soal hutan, ada panglima laot menangai soal kelautan, ada haria peukan menangani soal pasar, dan sebagainya. Institusi-institusi adat ini memiliki garis koordinasi antarmereka. Lembaga mukim yang dipimpin oleh seorang imum mukim juga berwenang mendamaikan segala bentuk sengeketa dalam kehidupan masyarakat manakala tidak selesai di tingkat gampông (kampung).

Sayangnya, lembaga mukim ini terkesan hilang sejak Soeharto memberlakukan UU No.5 Tahun 1979 tentang penyetaraan semua level bawah dengan sebutan desa dengan sistem pemerintahan yang sentralistik. Tatkala Aceh telah memiliki Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang merupakan ‘buah damai’ dari Helsinki, keberadaan lembaga mukim hendak difungsikan kembali. Masyarakat Aceh sudah mendukung sepenuhnya. Bahkan, tatkala UUPA belum ada, masyarakat Aceh tetap berlindung pada imum mukim jika terjadi sengketa dalam masyatakat. Persoalannya adalah terjadi tumpang tinding fungsi, tugas, dan wewenang antara imum mukim dan camat sehingga selama ini imum mukim ada secara defacto tetapi tidak berfungsi secara dejure.

Ironis sekali ketika para imum mukim itu bertanya (bukan meminta) tentang batas-batas fungsi dan wewenang mereka kepada kepala pemerintah Aceh, malah mereka diacuhkan dengan janji-jani serupa rezim Soeharto terhadap Aceh. Jika dulu oleh presiden, kali ini oleh raja nanggroe-nyasendiri. ‘Penipuan’ mengikutsertakan imum mukim dalam forum GCF adalah bukan janji pertama gubernur Aceh. Oleh karena itu, ketika kemarahan para pemangku adat itu memuncak dengan keluar dari forum tersebut, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa para tetua gampông itu tidak sopan keluar dari perjamuan gubernur sedunia.

Apa yang dilakukan oleh para imum mukim agar serta dalam forum GCF tidak pula dapat dinilai sekadar keinginan bertemu dengan para gubernur. Imum mukim berhak tahu atas hutan di wilayah mereka, mau diapakan atau dibawa ke mana. Selama ini, tatkala terjadi kesalahan fungsi hutan dalam kehidupan masyarakat bawah, imum mukim selalu menjadi orang pertama yang ditemui kepala gampông untuk menyelesaikan soalan tersebut. Oleh karena itu, imum mukim bersama lembaga adat yang menangani soal hutan sangat mafhum perkara hutan mereka, termasuk hingga batas-batas hutan dan jenis-jenis kayu yang boleh ditebang.

Maka kehadiran imum mukim dalam forum itu sebenarnya bukan hanya kepentingan akan hutan, tetapi juga bagian dari memfungsikan kembali keberadaan lembaga tersebut. Aneh, jika gubernur hanya sekadar menjajinkan sehingga tak salah pula ketika forum tersebut digelar, sejumlah elemen sipil mengadakan demonstrasi di luar Hermes Palace Hotel untuk forum itu. Niat baik gubernur hendak mengatakan pada dunia bahwa Aceh telah damai, dengan aksi demo di hadapan gedung tempat forum GCF itu telah mengesankan Aceh belum sepenuhnya damai. Inilah akibat tidak adanya partisipatif bersama rakyat.

Herman RN, Mahasiswa Pascasarjana Unsyiah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun