Oleh Herman RN
Pembicaraan sastra "cabul" atau "satra kelamin" sebenarnya sudah lama heboh di Jakarta sejak beberapa karya sastra yang ditulis oleh sastrawan kekinian kerap mendeskripsikan adegan esek-esek. Bahkan, soal sastra cabul atau ada pula yang menamakannya dengan "sastra kelamin" sempat membuat kalangan sastrawan nasional saling tuding. Sebut saja di antaranya karya-karya Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Hudan Hidayat, Eka Kurniawan, dan beberapa ‘penjaga Komunitas Utan Kayu' yang suka melahirkan cerita-cerita nyentrik. Namun, lambat laun persoalan itu hening seperti ditiup angi. Bahkan, saat ini permasalahan tersebut terkesan mati atau tak dipedulikan lagi.
Beda dengan Aceh yang dikenal sebagai daerah syariat Islam. Persoalan sastra ‘meusum' yang disebut-sebut sebagai sastra "cabul" itu beberapa hari lalu jadi perbincangan hangat. Bahkan, menghangat sebagai sebuah diskusi sastra.
Soal "cabul" dalam karya sastra yang lebih dititikberatkan pada cerpen itu jadi perbincangan menarik pada Jumat, 16 Oktober 2009, di Warung Kopi Black & White Banda Aceh. Mencuatnya hal itu dalam diskusi sekitar karya sastra dan kepenulisan yang diselenggarakan oleh Sekolah Menulis Dokarim bersama mitranya Radio Antero dalam paket acara Ubud Writers & Readers Festival (UWRF). Kendati acara tersebut bukan ditujukan sebagai ajang "pencabulan sastra", soal ‘kelamin' tiba-tba saja muncul dalam diskusi sesi kedua.
Mulanya, acara itu dipersiapkan panitia sebagai ajang tukar pengalaman dan bagi kisah serta baca karya bersama sastrawan Aceh yang sudah ke Ubud, Bali, dalam rangka UWRF. Sayangnya, sastrawan yang diharapkan hadir pada acara itu, yakni sastrawan yang berangkat pada tahun ini, tidak meluangkan waktunya dalam acara tersebut meskipun nama dia sudah dipampangkan besar-besar di spanduk kegiatan. Malah, yang mewakili soal bagi kisah di UWRF hanya seorang penyair Aceh, yang sebenarnya ia ke Ubud saat periode dua tahun lalu. Untung saja ada Anthony Loewenstein yang ‘menggantikan' tanda tanya peserta terhadap sastrawan Aceh yang sudah ke Ubud tahun ini mengapa tak kelihatan. Kendati Anthony dianggap telah mewakili sastrawan yang hadir di Ubud tahun ini, ia bukanlah sastrawan Aceh sehingga menjadi wajar jika beberapa peserta diskusi hari itu bertanya pada saya, "mana sastrawan Aceh yang sudah ke UWRF Bali tahun ini? Apakah mereka sudah tak punya waktu lagi bagi anak-anak muda Aceh?"
Ah, sudahlah tentang ketiadaan waktu para sastrawan yang dirindukan oleh anak-anak muda Aceh itu. Kita kembali ke soal "sastra cabul" yang memang sempat ‘memanaskan' suasana diskusi pada sesi menjelang larut malam di BW kemarin. Bahkan, perkara "cabul" dalam karya sastra sempat menjadi ajang saling serang antara peserta dan pembicara, juga antarpembicara sendiri yang umumnya mereka masih berusia dua puluhan.
Tulisan ini bukan bermaksud memberi garis pembatas ungkapan kecabulan dalam bahasa sastra. Akan tetapi, sastra sebagai hasil karya kontemplasi mesti disadari bahwa ia tidak lahir serta merta tanpa imajinasi penulisnya. Maka, perkelanaan imaji pembaca saat menikmati dan menginterpretasi karya yang dibacanya merupakan kelanjutan imajinasi yang diinginkan oleh si pencipta karya tersebut. Siapa pun pencipta karya itu, ia pasti ingin pembaca menangkap makna yang hendak disampaikannya itu seperti yang ada dalam pikirannya.
Karena itu, mengutip apa yang diungkapkan oleh Herman J. Waluyo (1987:78) bahwa pengimajian dalam puisi terjadi pada tiga tingkatan: imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktif, maka ketiganya dapat pula berlaku pada sastra prosa. Diksi yang digunakan oleh pengarang akan mencerminkan cerita yang diinginkannya. Dari diksi tersebut, pembaca dapat mengetahui sejumlah kata konkret yang menjadi andalan pengarang dalam mendeskripkan sesuatu hal sehingga manakala pendeskripsian dilakukan pada adegan "suami-istri", terang saja imaji pembaca akan menangkap hal itu. Apalagi, ungkapan deskripsi memang ditujukan agar orang seakan melihat dan merasakan yang diungkapkan oleh pencerita.
Dalam taraf deskripsi inilah, kita dapat memastikan apakah cerita itu ‘cabul' atau tidak, selain diksi yang digunakan juga sangat mempengaruhi. Saya misalkan, ada sebuah paragraf yang berkisah tentang suami istri di suatu malam. "Setelah beberapa bulan mereka berpisah, malam ini suami-istri itu akan melepaskan rindu. Perang melawan musuh tentu beda dengan perang melawan istri sendiri. Arena perangnya pun beda. Karena itu, sang suami bergegas mengajak istrinya ke kamar untuk berperang meskipun mereka baru saja tiga puluh melepas makan malamnya. Sesaat kemudian, lampu kamar pun padam."
Hemat saya, paragraf itu masih sederhana dan wajar. Jika ada yang menganggap cabul, di sini dapat ditegaskan imaji pembacalah yang membawa maknanya pada kecabulan. Namun, jika paragraf tersebut kemudian mendeskripsikan adegan suami-istri pada malam itu di ranjang saat berperang, apalagi sampai pada cara-cara sang suami mebelai dan menjamah istrinya, baru predikat "kecabulan" disandangkan pada penulis/pencipta karya.
Ada juga ungkapan cabul dalam tulisan yang bukan termasuk dalam deskripsi. Ungkapan ini biasanya digunakan oleh penulis-penulis yang suka bahasa berbunga-bunga dalam karyanya. Penulis seperti ini lazim menggunakan majas personifikasi semisal membandingkan bagian-bagian tubuh manusia dengan benda-benda seperti pisang, botol, pepaya, labu, dan sejenisnya. Jika ini dilakukan seorang penulis, meskipun bukan dalam adegan suami-istri, tetap dianggap di luar kewajaran. Secara tak langsung, ia sendiri yang telah ‘mencabuli' bagian-bagian tubuh manusia yang menjadi tokoh dalam ceritanya.