Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Karakteristik Hikayat Aceh

7 Maret 2010   04:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:34 1673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[dimuat pada Serambi Indonesia, 7 Maret 2010]

Hikayat adalah jenis prosa sastra lama yang disusun dalam bentuk berbait, bersajak, berirama (ciri hikayat Aceh). Isi atau kisah dalam hikayat meliputi berbagai masalah kehidupan, seperti pelajaran-pelajaran tentang adat, masalah keagamaan, roman-roman duniawi, masalah kemasyarakatan, dan sejumlah peristiwa lainnya. Selain itu, hikayat juga bisa meliputi dongeng-dongeng, legenda, mitos, sage, maupun fabel.

Hikayat dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Ia sudah ada sejak zaman dahulu kala. Mulanya hikayat dimainkan atau bawa dalam bentuk lisan oleh ahli (pawang). Karena itu, hikayat sering dikatakan sebagai seni tutur. Kemudian, setelah berkembangnya sastra tulis, hikayat mulai dituliskan, sama seperti jenis sastra lainnya di nusantara. Masa penulisan ini dimulai saat masuknya Islam pertama ke Aceh, diperkirakan abad ke-8 Masehi.

Hikayat Aceh berbeda dengan hikayat Melayu/Indonesia. Jika hikayat Melayu ditulis dalam bentuk prosa bernarasi, hikayat Aceh, kendati juga tergolong ke dalam bentuk prosa, ia ditulis berbait, bersajak, dan mengikuti rima. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh. Namun, jika dilihat naskah aslinya pada zaman dahulu, hikayat Aceh ditulis dalam bahasa Jawoe (Arab Melayu).

Hikayat Aceh masih dapat dibedakan lagi, yakni menurut zaman dan menurut irama yang dibawakan oleh ‘tukang hikayat’. Hikayat Aceh pada zaman lama (dahulu) secara umum memiliki ciri di antaranya mukaddimah dimulai dengan basmalah, kemudian diiringi pujia-pujian kepada Allah, salawat kepada rasul. Biasanya, mukaddimah ini diisi pula dengan sifat-sifat Allah dan tugas-tugas rasulullah saw.

Selanjutnya, tokoh cerita dalam hikayat lama digambarkan sebagai orang yang taat kepada Allah, berakhlak tinggi, berhati budiman, berwatak pahlawan, berpendidikan sempurna, antaranya dinyatakan sejak kecil sudah mampu menghafal Alquran, mempelajari ilmu-ilmu agama, ilmu hikmat, ilmu firasat, ilmu mantra, dan ilmu pemerintahan. Hal ini boleh dilihat semisal pada tokoh Malem Diwa.

Jika tokoh dimaksud adalah seorang lelaki, ia digambarkan berwajah tampan dan gagah, pun berkulit bersih. Jika tokoh itu perempuan, digambarkan sebagai sosok putri cantik dan biasanya berambut panjang.

Dalam kisahnya, pada hikayat lama cenderung terjadi antara remaja atau pembesar istana. Hasil karya pada zaman ini masih dianggap sebagai milik masyarakat karena tidak tercantum nama penulis (anonimious).

Zaman Baru

Sedikit memiliki perbedaan dengan zaman lama, hikayat di zaman baru cenderung diawali langsung dengan kata basmalah, juga puji-pujian kepada Allah, kadang tersebut sifat Allah, salawat kepada rasul dan sedikit pembukaan tentang alam semesta. Namun, terkadang langsung pada isi cerita yang hendak disampaikan.

Tokoh utama dalam hikayat baru digambarkan sebagai manusia yang taat kepada Allah dan berakhlak tinggi. Namun, adakalanya digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki sifat terpuji. Dari sini kemudian muncul tokoh yang disebut sebagai antagonis, protagonis, dan tetragonis.

Berikutnya, topik pembicaraan tidak lagi terfokus pada perebutan putri cantik, melaikan kisah kehidupan sehari-hari sehingga kisah cinta (jika ada) yang terdapat pada hikayat zaman baru (modern) mulai meliputi masyarakat umum, baik kalangan atas maupun kalangan bawah. Adapun hasil karya dianggap sebagai milik individu, karena sudah ada nama pengarangnya.

Irama di Aceh

Tercatat pula beberapa irama hikayat yang ada di Aceh. Irama ini berdasarkan si pembaca (pelantun) hikayat. Namun demikian, hingga saat ini, yang paling dikenal ada dua: irama dangderia dan irama PMTOH. Irama hikayat dangderia disebut-sebut melantun perlahan, mengikuti irama alam semisal hempasan gelombang dan deru angin. Adapun hikayat dangderia ini diciptakan oleh Mak Lapeh, seorang tukang hikayat dari Bakongan Aceh Selatan.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, terkenal pula irama PMTOH. Irama yang penuturannya terdengar lebih cepat dari irama dangderia ini dipopulerkan oleh Tgk. H. Adnan (alm). Lakab PMTOH sebenarnya lebih kepada kisah almarhum sendiri saat berhikayat dari kampung ke kampung yang menggunakan bus lintas Sumatera PMTOH. Dalam perjalanannya, gaya dan irama yang dibawakan oleh Tgk. Adnan kemudian disebut-sebut sebagai irama PMTOH.

Herman RN, penyuka sastra, bergiat di Gemasastrin dan Teater Nol Unsyiah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun