Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pencuri

28 Februari 2010   18:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:41 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MALING atau pencuri dalam bahasa Aceh disebut pancuri. Sederhananya, pancuri dapat diartikan mengambil milik orang lain tanpa seizin orang tersebut. Imbas pada umumnya bagi si pencuri (jika ketahuan mencuri) adalah dipukul oleh massa atau dipenjara jika berurusan dengan polisi. Namun, ada pula pencuri yang mendapat sanksi menyenangkan bagi dirinya, kendati dia sudah mencuri. Pencuri yang berbahagia ini adalah pencuri hati. Ketika dia sudah berhasil ‘mencuri’ hati orang yang disenangi/ sayanginya, orang yang telah ‘dicuri’ hatinya pun luluh terpekur, tunduk ke pangkuas si pencuri. Maka laba yang didapati oleh si pencuri jenis ini adalah berlipat ganda, setelah mengambil hati orang, malah mendapatkan orangnya.

Berbeda dengan pencuri hati, pencuri yang mengambil milik orang tanpa izin, biasanya akan mendapat bala. Seperti saya sebutkan di atas, kadang diamuk massa, terkadang berurusan pula dengan polisi. Ada juga yang hanya berurusan dengan tetua gampông saja semisal membayar denda. Ketentuan membayar denda seperti ini sudah menjadi adat dalam suatu gampông di Aceh, kendati yang mencuri hanya hewan piaraan Si Tuan Fulan. Hal ini ternukil pula dalam hadih maja, meunyo pageue blang meubeunteung limong, jeuneuroeb taglong leueng sideupa. Peunoh syarat pageue keubeue ditamong, deunda peukeunong bak ureueng po hareta (keubeue) ‘jika pagar kebun terbentang lima, bibit ditanam jarang sedepa. Penuh syarat pagar kerbau masih (juga) masuk, denda dikenakan bagi yang punya benda (kerbau).

Betapa agungnya kearifan ureueng Aceh dalam mengatur segala sesuatu dalam hidupnya. Melalui hadih maja itu dapat dilihat bahwa setiap orang terlebih dahulu diminta mawas diri menjaga harta bendanya. Namun, jika sudah dijaga sedemikian rupa masih juga “diganggu” orang, kepada si pengganggu itu wajib dikenakan sanksi (denda). Apabila ini benar-benar dijalankan dalam suatu negeri, orang Aceh berpendapat negeri tersebut aman dan sejahtera. Karena itu, hadih maja di atas diperlengkap lagi dengan dua frasa: lampôh meupageue umong meuateung, pageue meubeunteung ureueng meunama (kebun berpagar sawah berpematang, pagar terbentang orang pun bernama), sehingga jika disatukan akan menjadi, “Meunyo pageue blang meubeunteung limong, jeuneuroeb taglong leueng sideupa. Peunoh syarat pageue keubeue ditamong, deunda peukeunong bak ureueng po hareta (keubeue); Lampôh meupageue umong meuateung, pageue meubeunteung ureueng meunama.

Demikian arifnya adat Aceh mengatur tindak sosial dalam kehidupan masyarakat. Meskipun yang mencuri, mengambil milik orang lain itu, hanya berupa hewan piaraan, tetap ada denda dikenakan kepada si pemilik hewan. Apalagi, jika yang mencuri memang orang bersangkutan langsung, sudah tentu sanksi menjadi mesti dijatuhkan atasnya. Jikapun dia lolos dari sanksi adat gampông, si pencuri itu belum tentu selamat dari sanksi Allah swt., yang lebih besar akibatnya daripada sanksi yang dibuat manusia. Hal ini, dalam hadih maja Aceh dinukilkan dengan ungkapan meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malèe bak donya (melanggar hukum besar akibatm, melanggar adat malu dalam dunia).

Istilah Pancuri

Ada sejumlah istilah dalam masyarakat Aceh yang disematkan kepada pancuri. Salah satu istilah tersebut adalah pancuri tujôh. Terhadap istilah ini ada dua pendapat. Pertama entah karena jumlah si pencuri itu sebanyak tujuh orang sehingga disebut dengan pancuri tujôh. Kedua, entah karena pancuri itu melakoni aksinya di malam tujôh, maksudnya malam ketujuh kematian. Kebiasaannya, dalam masyarakat Aceh, jika ada musibah kematian, orang-orang gampông akan meramaikan rumah kematian tersebut hingga tujuh hari tujuh malam. Terlebih pada malam harinya, orang-orang akan tadarrus (membaca alquran) bersama di rumah duka sehingga banyak rumah yang tinggal dalam keadaan sepi. Pada malam ketujuh, biasanya ada kanduri untuk si almarhum, maka bertambah lenganglah seisi kampung, kecuali di rumah duka. Saat seperti inilah biasanya ada rumah yang dimasuki pancuri sehingga ada adagium menyebutkan pancuri tujôh.

Terlepas dari berbagai pendapat di atas, yang namanya pancuri sudah semestinya mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya. Namun, sayangnya ada juga pancuri yang sudah terdeteksi, tetapi masih bebas berkeliaran. Pancuri jenis ini adalah pancuri uang negara, pancuri uang rakyat.

Dengan berbagai kelihaian yang dimilikinya, sudah menjadi rahasia umum pencuri uang negara susah dijatuhkan sanksi. Namun demikian, kita juga tak dapat memungkiri kerja esktra tim pemburu fakta mulai membuahkan hasil. Sejumlah pancuri pèng rakyat sudah ada yang mulai memasuki persidanga, bahkan sudah ada yang dikurung. Mungkin ini suatu kemajuan dalam penegakan hukum bangsa ini.

Akan tetapi, ada satu lagi pancuri yang sulit terdeteksi. Pancuri jenis ini biasanya lebih suka bermain di belakang layar. Halnya pancuri uang rakyat yang bermain dari balik meja, pancuri jenis satu ini malah tak terdeteksi kendati dari sebalik meja. Jika pancuri uang rakyat yang disebut sebagai korupsi itu merugikan rakyat melalui negara, pancuri jenis malah langsung memberikan imbas kepada rakyat. Susahanya, pancuri jenis ini lebih sulit dideteksi. Namun, seperti saya katakan tadi, imbas akibat kelakukan buruknya sangat langsung bersentuhan dengan masyarakat, seperti banjir, diserbu harimau dan gajah, dan sejenisnya. Pancuri jenis ini adalah pancuri kayèe (pencuri kayu).

Boleh dilihat betapa besar bala yang diakibatkan penebangan hutan membabi buta oleh pencuri-pencuri kayu tersebut. Belum hilang diingatan kita tentang banjir bandang yang dikirim setiap tahunnya oleh sebab kayu-kayu penyangga karbon dioksida dibabat secara ilegal oleh oknum-oknum tertentu, sekarang masyarakat malah mendapat tantangan baru, yakni kedatangan hewan buas (gajah dan harimau). Semua sebabnya sama, kayu-kayu di hutan habis ditebang. Ironisnya, penebang-penebang kayu yang sudah ditangkap aparat kemanan kebanyakan melakukan perbuatan merugikan masyarakat itu karena ada dukungan (beking) dari aparat pula. Artinya, ada pancuri di balik pancuri, itu makanya saya katakan pancuri kayèe lebih sulit ditelusuri jejaknya daripada pancuri lainnya. Mungkin dugaan ini selaras dengan sebuah naritmaja, “Pancuri u sireungkeut bak ulee. Pancuri teubee meubulee dada. Pancuri manok mata lam parék. Pancuri iték mata lam paya. Pancuri pisang meugeutah jaroe. Pancuri kayee hai Teungku, pat tatanda? Tamah lom saboh treuk, pancuri pèng neugara, hèk tamita rupa!” (pencuri kelapa tali pemanjat di kepala. Pencuri tebu berbulu dada. Pencuri ayam mata dalam parit. Pencuri itik mata dalam sawah. Pencuri pisang bergetah di tangan. Pencuri kayu di mana kita tanda? Satu lagi, pencuri uang negara letih kita lihat rupa). Herman RN, aktivis ProDeelat, sebuah lembaga swadaya yang bergerak di bidang adat dan budaya Aceh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun