Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kitab

25 Desember 2009   17:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:46 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen Herman RN

Digalinya terus tanah itu. Tanah di belakang rumahnya itu dekat sepohon pisang. Sejak subuh dia menggali tanah itu. Entah untuk apa. Tapi sepertinya dia mencari sesuatu di situ. Kini tanah itu sudah sebatas lutut, tapi dia masih mencangkulnya, memperdalam lagi.

Keringat mulai membasahi wajah lelaki paruh baya itu. Matahari merembah dari celah-celah daun pisang. Embun yang sejak semalam bertengger di pucuk-pucuk daun pun mulai mengecil perlahan, lalu lenyap. Peluh lelaki itu mulai membentuk bintik-bintik air di lingkaran lehernya. Sangat bening seperti embun, tidak seperti di pergelangan tangannya. Keringat di pergelangan tangan Abu Waba terlihat sedikit hitam. Abu Waba masih menancapkan mata cangkulnya di tanah. Tanah itu sudah membentuk persegi panjang dengan kedalaman hampir sepinggang.

Sekilas lelaki itu mengusap keringat di dahinya yang sedikit berkerut dengan belakang tangannya, lalu kembali menghantamkan mata cangkul ke tanah.

“Pak, untuk apa Bapak gali tanah itu?” Suara Istri Abu Waba dari pintu dapur yang memerhatikan Abu Waba sejak pagi tadi.

Abu Waba hanya diam. Dia terus mencangkuli tanah. Tanah itu mulai kelihatan berair. Semalam memang hujan.

“Pak?!”

Abu Waba menoleh ke arah istrinya sejenak. Dia meludahi tangannya yang mulai kelihatan letup karena menggenggam gagang cangkul. Mungkin dia terlalu kuat menggenggam cangkul itu. Selepas membasahi telapak tangannya dengan ludah, lelaki itu kembali mencangkul.

“Pak! Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa Bapak lakukan? Kita mau makan apa siang ini, Pak, kalau Bapak asik mencangkul saja?”

“Sebaiknya Ibu buatkan saya minuman.” Jawab Abu Waba tanpa menoleh.

“Pak!?”

“Sudah, saya ini sedang kerja. Kalau tidak mau membuat minum, ya sudah. Jangan ganggu orang kerja!”

“Kerja apa, Pak? Apa Bapak kira Bapak bisa mendapatkan uang dari situ? Kita makan apa siang ini, Pak? Lebih baik ke pasar, bawa kayu-kayu itu. Siapa tahu ada yang mau mebelinya. Lumayan untuk makan siang ini.”

Abu Waba kembali melihat ke arah istrinya. “Ibu bisa diam tidak?”

“Pak. Apa kata orang jika melihat Bapak? Orang akan berpikir Bapak sudah gila karena menggali tanah seperti itu, seperti kuburan.”

“Itu karena mereka tidak tahu apa-apa!”

“Memangnya Bapak tahu apa?”

“Ibu juga sama. Ibu kan tak tahu ada apa di sini.”

“Ada apa? Apa Bapak kira di situ ada uang?”

“Bukan uang, tapi lebih dari uang.”

Abu Waba menghentikan gerakannya. Dia kembali mengusap peluh di wajahnya.

“Apa Bapak kira Bapak akan menemukan harta karun? Ini bukan zaman nabi, Pak. Harta karun itu hanya ada di zaman nabi.”

“Bukan harta karun, tetapi kita akan mendapatkan harta yang melebihi si Karun.” Jawab Abu Waba seraya tersenyum.

“Bapak ini aneh.”

“Dengar, Bu.” Abu Waba berhenti sejenak sambil memanggil istrinya untuk mendekat.

Sudah dua malam berturut-turut saya bermimpi. Dalam mimpi saya itu, saya didatangi seorang orang tua berpakaian serba putih. Jenggotnya hampir menyentuh pusat. Dia berpesan kepada saya, “Galilah tanah di belakang rumahmu! Di sana ada sebuah kitab tertanam. Kitab itu ajaib. Kau akan mendapatkan segala keinginanmu dengan membaca isi kitab itu. Menurut pesan kakek itu, kitab yang dimaksud ada di sini. Abu Waba menujuk tanah yang digalinya.

“Bapak percaya dengan mimpi itu?”

“Husy… Ibu jangan bicara sembarangan. Ini benar. Kakek itu datang hampir setiap malam. Dan ibu jangan ceritakan pada orang lain, nanti kitab ini bisa diambil orang.”

“Bukan tiap malam, tapi tiap pagi! Karena Bapak malas bangun pagi.” Suara istri Abu Waba kesal.

Pak, itu tidak benar. Setiap malam Bapak memang sering menggigau, harta.. harta.. harta.. Itu karena Bapak tidak mau mencari pekerjaan. Uang itu dicari, Pak, tidak hadir dalam mimpi.

“Ya, ini saya sedang mencari uang. Sudahlah, ibu masuk ke rumah. Ibu hanya menunda kerja saya. Sebentar lagi kalau kitab itu sudah saya temukan, ibu baru percaya.”

Abu Waba kembali menggait cangkulnya. Karena kesal, istri Abu Waba akhirnya masuk ke dalam rumah.

Matahari sudah tepat di kepala. Dua tiga mata cangkul kembali ditancapkan Abu Waba di tanah. Dia berhenti lagi, kemudian menari napas. Abu Waba naik ke atas meninggalkan cangkulnya dalam liang yang telah digali. Dibuka bajunya yang telah basah oleh keringat. Ia merebahkan tubuhnya di tanah beralaskan baju basah tersebut.

Mata Abu Waba menatap langit, sedikit terpicing diterpa sinar mata hari. Mulutnya menyunggingkan senyum. Dia membatin, “Sebentar lagi aku akan kaya.”

Abu Waba memejamkan matanya. Perlahan dia terlelap di bawah sinar mata hari. Perutnya yang sedikit buncit terlihat turun naik. Suara ngorok pun mulai terdengar. Tubuh itu sedikit demi sedikit bergeser ke samping, lalu jatuh ke dalam lubang yang telah digalinya. Tanah pun longsor. Tubuh Abu Waba terbenam bersama cangkulnya. Di atas, langit sangat cerah, dan mata hari tersenyum…

***

Syiah Kuala, November 2006.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun