Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Mau Jadi Pejabat!

12 Desember 2009   12:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Mengenang Rendra dan Pementasan Terakhirnya di Aceh)

oleh Herman RN

Tulisan ini mengenang Budayawan W.S. Rendra yang baru saja melewati seratus harinya di alam barzah. Adapun warkah ini, hasil tontonan saya yang terakhir saat beliau ‘mentas’ di Aceh, yakni dalam rangka dies natalis Universitas Syiah Kuala tahun 2007 silam.

Sekilas lucu judul tulisan ini, tetapi inilah yang diungkapkan W.S. Rendra dalam sajak “Pantun Korupsi” yang dibacakannya saat memeriahkan ulang tahun Universitas Syiah Kuala, 3 September 2007. Ulasan saya ini merupakan daya tangkap naluri saya terhadap kegelisahan ‘si Burung Merak’ tersebut.

Sebagaimana sajak-sajak Rendra yang lain, “Pantun Korupsi” juga merupakan golongan sajak pamflet yang apabila ditinjau dari segi isi, disatirekan kepada pejabat-pejabat yang melakukan tindakan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Maka, tak heran pada malam itu, ruang utama gedung AAC Dayan Dwood Darussalam digemuruhi teriakan dan aplause tanda setuju dari para mahasiswa yang hadir di sana. Bahkan, beberapa pejabat teras Unsyiah yang turut malam itu, termasuk rektor Unsiah, tersenyum-senyum kecil sembari berbisik kepada rekan di sebelahnya yang juga salah seorang pejabat negeri ini. Seperti para mahasiswa, pejabat-pejabat Unsyiah pun menyunggingkan senyum setiap selesai sebait puisi mirip pantun itu dilafalkan Rendra.

Baiklah, saya ceritakan sedikit ihwal penampilan lelaki yang dijuluki si Burung Merak pada malam dua tahun lalu itu. Rendra tampil di bawah megahnya neon AAC setelah beberapa penari membawakan tari pembuka acara. Di atas panggung, di hadapan tiga buah microphone, secarik kertas dikeluarkan lelaki kelahiran Solo, 7 November 1935 itu. Sebagai pembukaan, bait-bait Hymne Universitas Syiah Kuala pun menggema di antara suaranya yang serak. Orang-orang di ruangan itu hampir mencapai seribuan. Semuanya hening mendengar suara bas milik pencipta hymne Unsyia itu. Hymne Universitas Syiah Kuala adalah salah satu puisi Rendra yang digubah jadi lagu wajib bagi perguruan tinggi jantong hate rakyat Aceh tersebut.

Rendra bukan menyanyikan hymne tersebut, tetapi dia membacakannya selayaknya puisi-puisi lain. Dari sini kita diberi tahu bahwa sebuah syair lagu merupakan hasil pengindahan lirik-lirik puisi. Artinya, bait lagu dapat dipuisikan, sebaliknya, puisi dapat dilagukan (musikalisasi puisi).

Dalam membacakan sajak-sajaknya, Rendra tampil kharisma. Kharismatiknya ini pula yang membuat sajak-sajaknya malam itu hidup dalam perhatian pengunjung. Padahal, jika disimak secara saksama, bacaan lelaki itu sudah sangat jauh kurang dari kehebatannya sepuluh tahun silam. Roh pergerakan dalam puisi-puisi pamfletnya tidak memadu dalam suara basnya. Barangkali puisi-puisi itu lebih hidup saat Rendra membacanya di usia tiga puluh tahun silam. Malam itu, Rendra kelihatan lemah membacakan puisinya. Namun, marwah lelaki itu yang dikenal sebagai pelopor puisi pamflet-lah, yang menjadikan bacaan puisinya masih mempunyai tempat di mata penonton. Sedangkan suaranya, timbul tenggelam dalam gema napasnya di pengeras suara.

Kembali ke sajak “Pantun Korupsi”. Jika saya tidak salah mengingat, salah satu bait puisi itu berbunyi, “Kalau ada sumur di ladang/ jangan diintip orang mandi/ kalau sudah memakan uang orang/ jangan libatkan anak dan istri/”. Sungguh puisi ini tepat sekali untuk Indonesia, dulu dan sekarang.

Struktur dan Isi

Ditinjau dari segi struktur, puisi tersebut tergolong ke dalam jenis pantun lama. Hal ini terlihat dari bentuknya yang terikat dengan bait dan bersajak ab/ab. Ciri ini semakin mempertegas puisi tersebut memang merupakan pantun satire yang ditujukan kepada koruptor. Wajar saja diberi judul “Pantun Korupsi”.

Ada penyair lainnya yang membuat puisi berbentuk pantun, tetapi beda dengan “Pantun Korupsi” Rendra. Perbedaan itu terlihat pada struktur bait yang digunakan Rendra. Berikut ini saya contohkan puisi berbentuk pantun yang ditulis oleh Reza Idria. kubenam duka terakhir ke dalam gelinjang laut/ menjelang maut kian dekat menghampir/langit menghimpun petir menambah luka parut/ bersahut taut serapah dari mulut menjelma takdir// (Hikayat Rhang Manyang, bait kedua).

Puisi Reza juga berbentuk pantun, tetapi setiap baris mewakili isi yang hendak disampaikan. Artinya, semua baris mempunyai makna lirik dari puisinya yang dapat diinterpretasikan secara ambiguitas. Bentuk ini juga terdapat pada “Salam Damai” karya Fikar W. Eda. Namun, sajak Rendra, baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan keempat yang merupakan isi yang hendak diutarakan puisinya. Oleh karena itu, saya katakan bahwa puisi “Pantun Korupsi” merupakan jenis pantun sindiran yang dipuisikan.

Adapun pesan yang dapat dipetik dari “Pantun Korupsi” adalah bahwa umumnya pejabat di Indonesia banyak yang korupsi. Karenanya, dalam sebuah bait, Rendra mengatakan, “… jangan mau menjadi pejabat, sanak kerabat diajak korupsi.”

Kecuali pada puisi itu, puisi-puisi lain yang dibacakan Rendra malam itu juga bernada sindiran. Pada sajak “Kas Bon”, Rendra berhasil menyatire betapa pentingnya secarik kertas tanda jadi (cek/ kwintansi). Dengan cek tersebut, seseorang atau lembaga tertentu dapat melakukan penipuan, yang arahnya lagi-lagi kepada korupsi. Namun, dengan kertas itu pula, kita dapat mengukur kejujuran seseorang. Hal ini tentunya lumrah ditemui dalam kehidupan. Jika pada kwitansi tertera angka sekian, tetapi yang digunakan lebih dari yang tertera, tentunya berarti seseorang tidak dapat dipercaya. Higga sekarang, permainan kwitansi kosong masih acap terjadi di negara kita. Inilah yang hendak disampaikan Rendra dalam “Kas Bon”.

Maka, wajar saja mahasiswa malam menjerit kegirangan mendengar sajak tersebut. “Slip SPP, Rendra!!!” pekik beberapa mahasiswa berkali-kali saat lelaki asal Solo itu membawakan sajak “Kas Bon”. “SPP tinggi!” ulang seorang mahasiswa. Menurut mahasiswa, Kas Bon-nya Rendra tidak jauh berbeda dengan slip SPP mahasiswa di perguruan tinggi itu kian tinggi. Jika kas bon berguna sebagai tanda utang piutang, slip SPP berkedudukan sebagai bisa-tidaknya mahasiswa kuliah. Ini yang membuat mahasiswa memekik girang.

Hal menarik lainnya adalah sajak “Maskumambang” yang juga menjadi perhatian pengunjung kala itu. Dalam “Maskumambang” diceritakan bahwa banyak kebobrokan di negeri ini, baik yang dilakukan oleh pejabat, maupun masyarakat. Maskumambang, menurut Rendra adalah sesuatu hasil di bumi (sumber daya) yang tidak dihargai. Diumpamakan bahwa sebuah daerah mempunyai hasil negeri sangat berguna, tetapi karena tidak pintar memberdayakankannya, hasilnya ”mambang”, yaitu tidak berguna sama sekali.

Demikian yang dimaksudkan “Maskumambang”. Hal itu terlihat dalam bait-bait yang berbunyi tentang pembakaran gedung, rumah, hutan, kios, dan sebagainya. Semua itu merupakan sumber pendapatan, yang menurut Rendra adalah emas, tetapi karena dibakar, emas itu tidak dapat digunakan. Satu hal yang tidak disebutkan dalam sajak itu, yaitu pembakaran rumah sekolah. Padahal, rumah sekolah adalah sumber “emas” yang sangat berharga untuk generasi masa depan, dan pembakaran gedung sekolah beberapa tahun silam kerap terjadi di Aceh.

Rendra tidak bercerita tentang pembakaran rumah sekolah, barangkali dikarenakan dia belum melakukan riset di Aceh untuk sajaknya sebagaimana yang pernah dilakukannya dalam “Hymne Universitas Syiah Kuala”. Padahal, jika dikaitkan dengan konteks Aceh, mulai dari konflik bersenjata dampai dengan pascapilkadasung, sekolah-sekolah di Aceh masih menjadi imbas kepentingan politik beberapa pihak.

Melaui sajak si Burung Merak, semoga kita mampu membaca diri, mebaca zaman, membaca orang (masyarakat), membaca alam, dan membaca tanda-tanda sehingga emas kita tidak lagi mambang. Mas Willy, semoga kau tenang di alam sana. Sajak-sajakmu hidup di hati Indonesia. Amin!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun