Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aceh Butuh Polmas?

29 November 2009   18:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:08 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selanjutnya, untuk mengatur masalah pertanian dan perkebunan, di Aceh sudah ada Kujruen Blang, yang di dalamnya ada Pawang Glé. Untuk mengatur masalah laut dan segala devisa dari kelautan sudah ada Panglima Laôt.Untuk mengatur masalah pasar, sudah ada Haria Peukan. Dia mengatur segala ketertiban pasar, pajak, dan sejenisnya.

Nah, untuk tingkat keaman dan kenyaman di gampông pun, Aceh memiliki struktur adat yang sangat kuat. Aceh memiliki geuchik sebagai kepala pemerintahan di tingkat gampông, imuem mukim untuk tingkat mukim. Di samping itu, Aceh juga memiliki tuha peut dan tuha lapan sebagai instusi adat yang jika setarakan dengan DPR dan MPR, mereka adalah sama. Tuha peut adalah Dewan Perwakilan Rakyatnya dan tuha lapan merupakan Majelis Permusyawaratan Rakyatnya. Semuanya dipilih oleh masyarakat secara langsung, yang segala sesuatunya dilakukan dengan musyawarah. Tidak seperti polisi yang menganut sistem sentralistik.

Jika semua institusi adat di atas dijalankan dengan sebaik-baiknya, kita (baca: Aceh) tidak perlu lagi mengenal istilah polisi, dinas pertania, dinas pasar, dinas perkebunan, dan sebagainya, karena semunya sudah ada yang mengatur di Aceh, yang dipilih dan ditunjuk langsung oleh masyarakat setempat.

UU RI No.5/1979 Penghancur

Semua institusi pemerintahan adat mukim dan gampông di atas hancur sejak diterapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979. Undang-undang yang dicetuskan pada masa Orde Baru ini menyamaratakan semua sistem pemerintahan di Aceh dengan semua wilayah yang ada di Indonesia. Sistem pemerintahan menjadi sentralistik, di mana mukim dan gampông dileburkan menjadi istilah desa, lalu kebijakan hanya ada di tingkat atas, sementara masyarakat Aceh terus menjadi imbas kebijakan sepihak sentralistik Indonesia. Pemerintah mulai melegalkan HPH sehingga hutan Aceh hancur.

Sedih memang bila mengenang semua itu, yang ujung-ujungnya akan menimbulkan benci dan dendam kepada Negara Republik ini. Tapi sudahlah, tulisan ini bukan hendak membakar api dendam yang sudah lama kita padamkan. Melaui tulisan ini, saya hanya berharap, institusi adat di tingkat mukim dan gampông bisa kembali dijalankan semana mestinya.

Permainan Lama

Istilah Polmas saya kira hanya pergantian nama saja dari istilah lama. Jika yang dimaksudkan Polmas adalah polisinya masyarakat yang dipilih dari masyarakat setempat, makanya tidak diberikan gaji dan senjata, gaya ini sudah pernah diterapkan di Aceh masa Orba. Saat itu kita diperkenalkan istilah Pertahanan Sipil (Hansip), Keamanan Rakyat (Kamra), Perlawanan Rakyat (Wanra). Semuanya diambil dari masyarakat desa setempat, yang tidak dipersenjatai, kecuali sebuah pentungan kayu. Namun, perlu diingat, ruang gerak Hansip, Kamra, maupun Wanra, tetap bermuara kepada polisi. Sistem sentralistik tetap tidak berubah.

Untuk itu, saya katakan, Polmas hanya istilah baru dari permainan lama sistem pemerintahan ini. Yang diperlukan Aceh sekarang adalah diaktifkannya kembali intitusi adat di tingkat mukim dan gampông. Mereka juga memiliki sanksi hukum, bahkan sanksi adat bagi si pelanggar keamanan dan kenyaman di wilayahnya. Makanya dalam hadih maja Aceh dikenal istilah meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malè bak donya.

Jikaisntitusi adat itu diterpakan kembali, pencuri ayam tidak mesti lagi dikurung dan dipukul dalam penjara, lalu hanya mendapatkan makanan sisa, sedangkan pencuri uang rakyat semakin bertebaran di mana-mana, karena yang paham tentang masyarakat di suatu tempat adalah orang-orang yang dipilih oleh masyarakat setempat, yang berbaur bersama masyarakat setempat. Jika lembaga-lembaga adat tersebut diaktifkan, masihkah Aceh butuh Polmas?

Penulis, Aktivis Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun