Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haruskah Aceh Memilih Presiden Indonesia?

7 Juni 2014   18:32 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:49 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SAYA bukan tim sukses (timses) dari calon mana pun! Kiranya ini penting saya sampaikan di awal untuk menegaskan bahwa celoteh saya kali ini adalah pandangan pribadi sebagai manusia sekaligus sebagai ureueng Aceh.



Aceh tak pernah lepas dari “air mata” dan “darah”! Kedua hal ini buntut dari janji manis. Sekadar mengingat hal yang memang selalu terpatri dalam ingatan rakyat Aceh: Soekarno berjanji manis pada Aceh yang kemudian ia mungkiri.

Rezim Soeharto juga sama. Aceh diberi label Daerah Istimewa (DI), tetapi segala kebijakan berada di tangan pusat (sentralistik). Ibarat sebilah pisau: mata pisau di Aceh, gagangnya di Jakarta. Soeharto menghapus kata “gampông” dan “mukim” di Aceh dengan alasan menyelaraskan dengan seluruh daerah Indonesia. Akibatnya, peran, fungsi, dan wewenang pemangku pemerintahan adat di Aceh hilang. Oleh karena itu, gelar DI Aceh tak lebih hanya kamuflase untuk menundukkan ureueng Aceh agar tak memberontak menuntut hak.

Masa Presiden Bj. Habibie Aceh seolah mendapatkan angin segar. Kebijakan Habibie yang memberikan status referendum kepada Timor Leste (dulu: Timor-Timur) membuat Aceh bertambah semangat menggaungkan referendum. Namun, Habibie tak punya “taring” untuk Aceh seperti ia menandatangani referendum Timor Leste.

Akhirnya giliran Abdurrahman Wahid dan Amien Rais yang meberikan janji manis bagi Aceh. Seperti diketahui, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebelum menjadi presiden sempat menyatakan persetujuannya atas referendum Aceh. Gus Dur dan Amien Rais yang masa itu menjabat sebagai Ketua Umum MPRI RI menyepakati referendum Aceh yang langsung tertuang dalam Sidang Umum MPR RI.

Ironisnya, setelah Gus Dur jadi presiden, ia menolak referendum Aceh dengan alasan takut Aceh akan merdeka seperti Timor Leste. Gus Dur menyatakan referendum hanya tuntutan segelintir orang saja. Sebaliknya, ia mengaku sebagai “nabi” orang Aceh, merasa diri pahlawan orang Aceh dengan menghalangi referendum Aceh. Amien Rais pun tidak lagi buka mulut soal referendum Aceh.

Presiden berikutnya di Indonesia adalah Megawati Soekarnoputri. Sudah jadi rahasia orang Aceh, Megawati pernah berjanji di lapangan Blangpadang dalam kampanye partainya. Sembari menyebut diri sebagai “Cut Nyak” orang Aceh, ia berjanji tidak akan ada lagi setetes darah pun tumpah di bumi Aceh.

Kenyataannya, saat menduduki kursi presiden, Megawati malah menandatangani status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Untuk diketahui, operasi militer yang diterapkan Megawati untuk Aceh adalah operasi militer terbesar di Indonesia sepanjang sejarah Nusantara.

Dalam kasus DOM Aceh ini tentu tak boleh melepaskan status Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo Subianto. SBY adalah Menkopolkam masa pemerintahan Megawati. Mau tidak mau, SBY mesti memiliki tanggung jawab masa DOM Aceh. Dua periode SBY jadi presiden, apa yang sudah diperoleh Aceh? Pembangunan di Aceh banyak hasil “sedekah” negara asing. Hampir tidak kelihatan pemberian Indonesia.

Begitu pula dengan Prabowo, yang menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopasus masa DOM Aceh (1989-1998). Peran dan sepak terjang anak buahnya di lapangan tidak boleh dilepaskan dari titah Prabowo sendiri masa itu. Sebagai komandan, Prabowo adalah “otak” DOM di lapangan masa Soeharto. Setelah itu, giliran Megawati menerapkan darurat militer (DM) di Aceh. .

Nah, kedua orang ini (Megawati dan Prabowo) adalah orang yang bakal menduduki posisi penting di RI ke depan. Megawati dengan PDI-Perjuangannya adalah pengusung Capres Joko Widodo. Prabowo adalah capres dari Gerindra. Keduanya tidak boleh dilepas dari kasus DOM Aceh!

Kini, Megawati sudah mulai memainkan janji politiknya. Jika dulu ia mengaku sebagia “Cut Nyak” orang Aceh, sekarang ia mulai menebar bahwa “Aceh adalah kampung saya”. Tentunya, orang Aceh mesti waspada dengan ungkapan Megawai ini. Hanya keledai yang jatuh di lobang sama lebih dari sekali.

Demikian halnya Prabowo, sebagai komandan perang, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dirinya dan anak buahnya di lapangan tentang kasus DOM. Aceh sudah memiliki pengalaman Indonesia dipimpin oleh militer, maka Aceh harus pintar memilah dan memilih atau bahkan tak perlu memilih sama sekali!

Sekarang saatnya, Aceh menentukan sikap: perlukah memilih presiden Indonesia yang keduanya berlatar belakang DOM dan DM Aceh?

Sebagian timses dan pemilih fanatik akan berlasan, jangan lihat capresnya, tapi lihat juga cawapresnya! Nah, sekarang mari melihat siapa cawapres mereka.

Hatta Rajasa (cawapres Prabowo) adalah orang yang bermain di sektor migas, terutama saat dirinya menjabat sebagai Menteri Perekonomian (Menko). Dia pula orang yang ‘melalaikan’ undang-undang migas Aceh.

Lantas, bagaimana dengan Jusuf Kalla, wakil Jokowi? Lihat saja statemen JK di media. Dia tidak setuju daerah lain di Indonesia diterapkan Syariat Islam seperti Aceh. Alasannya sederhana, semua daerah di Indonesia mayoritas Islam, untuk apa lagi syariat Islam? Jika demikian, boleh jadi ia beranggapan Aceh belum total Islam sehingga masih diperlukan status syariat islam? Artinya, JK juga punya permainan tersendiri untuk Aceh.

Aceh di mata JK tak lebih seperti anak-anak yang haus gelar. Nyaris setiap gelar untuk Aceh: Otonomi Khusus, Syariat Islam, Nanggroe Aceh Darussalam, adalah upaya JK untuk meredam perlawanan ureueng Aceh. JK itu pintar, ini yang harus diakui! Ia tahu, Aceh gila gelar, gila status. Jika Aceh ribut, dia langsung mengupayakan status untuk Aceh, semisal otonomi, syariat islam, NAD, dan sebagainya. JK pun benar, bahwa Aceh langsung diam begitu diberi gelar seperti itu.

Terlalu panjang mengurut satu per satu di sini. Intinya, kembali lagi ke hati ureueng Aceh, haruskah rakyat Aceh memilih presiden Indonesia kali ini? Siapkah rakyat Aceh menelan janji-janji manis kembali? Tak perlu bertanya pada rumput yang bergoyang. [Herman RN]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun