Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

4x6 dan 6x4, Bicara Matematika atau Ilmu Sosial?

24 September 2014   09:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:44 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14114987901276785559

[caption id="attachment_325286" align="aligncenter" width="300" caption="dok.internet"][/caption]

JUJUR, saya merasa risih membaca penjelasan sejumlah orang terkait PR Matematika murid kelas 2 SD yang sedang heboh di media sosial. Hal ini terkait 4 x 6 dan 6 x 4 yang dianggap berbeda. Saya tidak mengulang lagi sumber berita 4 x 6 dan 6 x 4 ini, karena saya yakin banyak orang sudah mengikuti perihal muasal masalah ini muncul.

Saya hanya mencoba memberikan sumbangsih pikiran terhadap fenomena taklid Matematika ini. Kepada mereka yang mencoba menjelasan 4 x 6 berbeda dengan 6 x 4, saya titip pertanyaan: sebenarnya Anda sedang bicara Matematika atau ilmu sosial?



Sejak kecil, saya diajarkan bahwa Matematika itu ilmu pasti. Kemana pun dibawa, 2 + 2 = 4 dan 2 x 2 = 4. Kepastian ilmu Matematika diperkuat dengan 1 + 1 = 2. Tidak mungkin 11. Namun, dalam ilmu sosial berlaku proses. Apakah angka 1 ditambah angka 1 yang lain? Jika ini prosesnya hasil 1 + 1 bisa menjadi 11 (mendatangkan angka 1 lainnya berdampingan). Inilah yang dimaksud dengan proses, bukan hasil.

Saya tidak melihat perintah tegas dari guru kelas 2 SD itu bahwa yang dibutuhkan ialah “proses” bukan “hasil”. Karena perintah yang tidak pasti, tentu murid akan mencari hasil, bukan proses. Sangat penting seorang guru memberikan contoh terlebih dahulu terhadap soal yang diberikan agar muridnya paham maksud tugas. Apalagi untuk anak SD, kiranya guru harus membuat contoh beberapa terlebih dahulu. Nah, saya tidak melihat ada contoh atau petunjuk dari guru pada buku PR si murid.

Misalkan, seorang guru Matematika memberikan tugas kepada muridnya: berapakah 100 : 5? Jawablah dengan menggunakan rumus (tentu guru sudah mengajarkan rumus membagi). Jika begini perintahnya, benar yang diinginkan adalah proses, cara menemukan hasil, bukan sekadar hasil akhir.

Karena perintah yang masih kabur dari sang guru, jawaban yang ditulis si murid mestinya tidak disalahkan. Murid dan bahkan mungkin bapaknya murid sekali pun, tatkala pertama melihat bentuk 4 x 4 x 4 x 4 x 4 x 4 tentu tidak berpikir pada proses, melainkan langsung memberikan hasil.

Selain itu, mesti dibedakan antara ilmu Matematika dan ilmu sosial. Dalam ilmu Matematika, 3 + 1 = 4. Dalam ilmu sosial bisa berbeda. Misalkan saja 3 ekor ayam + 1 ekor musang, tentu = 4 ekor binatang. Ini ilmu Matematika, karena 3 + 1 = 4. Jika tidak disetujui hasilnya 4, berarti pembicaraan bukan lagi ilmu menghitung, bukan Matematika, melainkan ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam ilmu alam, 3 ekor ayam + 1 ekor musang = 3 ekor ayam dan 1 ekor musang (tetap). Hal ini karena hewannya berbeda, tidak mungkin ayam menjadi musang atau musang menjadi ayam. Ini ilmu alam!

Dalam ilmu sosial, 3 ekor ayam + 1 ekor musang = 1 ekor musang. Logikanya ilmu sosial berlaku di sini. Dalam kandang ada 3 ekor ayam ditambahkan 1 ekor musang. Ayam-ayam itu akan dimakan oleh musang sehingga hasilnya hanya tersisa 1 ekor musang. Sekali lagi, ini ilmu sosial, buka ilmu pasti (Matematika). Di bagian ini ada proses yang terjadi, yakni proses musang memakan ayam. Proses ini tidak pasti, mungkin musang akan memakan ketiga ekor ayam tersebut, atau hanya satu ekor, atau dua ekor. Tidak ada kepastikan dalam ilmu sosial ini.

Sekali lagi, ilmu sosial berbeda dengan ilmu Matematika. Orang-orang yang berpandangan bahwa 4 x 6 berbeda dengan 6 x 4 sebenarnya sedang bicara ilmu sosial. Mereka mengandalkan logika. Saya ambil kasus, Prof. Thomas Djamaluddin  dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang mengasumsikan Ahmad dan Ali memiliki kekuatan berbeda. Ahmad lebih kuat sehingga mampu membawa 6 bata sebanyak 4 kali. Ali hanya mampu membawa 4 bata sebanyak 6 kali. Dalam ilmu pasti, masing-masing punya 24 bata. Hasilnya sama!

Namun, jika kasusnya: Ahmad mampu membawa bata sekali jalan 6 bata, maka berapa kali Ahmad dapat mengumpulkan bata hingga 24? Tentu jawabannya 4 kali sehingga ditulis 4 x 6. Demikian halnya untuk Ali: jika Ali mampu membawa bata sekali jalan 4 bata, berapa kali Ali dapat mengumpulkan bata hingga 24 bata? Tentu jawabannya 6 kali sehingga menjadi 6 x 4.

Pertanyaan itu berlaku sebagai ilmu sosial yang mengandalkan nalar. Seorang yang memiliki kekuatan mengangkat bata 6 buah, tentu cukup bergerak 4 kali saja agar dapat 24 bata. Seorang yang hanya mampu membawa 4 bata, tentu membutuhkan 6 kali bolak-balik agar dapat terkumpul 24 bata.

Sekali lagi, ini ilmu sosial yang dimainkan dengan nalar dan logika bahwa yang lebih kuat memiliki daya angkat berbeda dengan yang lebih lemah. Apakah kasus PR murid kelas 2 SD itu juga soal seperti ini? Saya tidak melihat PR berhitung anak SD itu dalam bentuk ilmu sosial, melainkan benar-benar sebagai ilmu Matematika. Setidaknya, PR anak itu bukan dalam bentuk bercerita dan tidak ada contoh soal. Maka, tak layak membawa cara ilmu sosial dalam PR berhitung murid SD tersebut.[Herman RN]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun