Beberapa minggu yang lalu Putri Bung Karno Rachmawati Soekarnoputri mengeluarkan sebuah pernyataan yang ditujukan kepada kejaksaan. ia meminta agar selain Bandar narkoba, koruptor juga dihukum mati hal itu dikarenakan korupsi di Indonesia telah menyebabkan Negara bangkrut defisit APBN hampir 3%, “ada aroma kongkalikong alias konspirasi- masihkah Indonesia negara hukum? bahkan maling ayam saja langsung diekskusi ditembak ditempat lalu bagaimana dengan koruptor maling uang negara milyaran bahkan triliunan?”. Kicaunya melalui akun twitter @rsoekarnoputri
Wacana hukuman mati koruptor memang telah lama menjadi perbincangan di masyarakat dan para petinggi Negara, mengingat tingginya intensitas korupsi dan anggapan masyarakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dan memberikan dampak yang sistematik.
Beberapa tahun yang lalu Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD juga mengeluarkan pernyataan serupa "Karena (praktik korupsi) mengakibatkan kemiskinan, Harus ada inisiatif mengubah undang-undang tindak pidana korupsi yang hanya 20 tahun atau dihukum mati jika melakukan korupsi dalam keadaan negara krisis," kata Mahfud di hadapan ratusan mahasiswa saat memberikan kuliah umum di Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (27/2/2014). (Kompas.com)
Pernyataan dari para tokoh Negara tersebut memunculkan kembali pertanyaan lama yaitu, Pantaskah Hukuman Mati Untuk Koruptor? Pernyataan serupa juga pernah datang dari kalangan seniman, Iwan fals seorang musisi yang terkenal dengan karya-karya yang kerap mengkritik pemerintah mengapresiasi kinerja pemerintah dalam pemberantasan narkoba dengan menghukum mati para Bandar narkoba, namun Dia kemudian mempertanyakan keberanian Presiden Jokowi mengeksekusi mati terdakwa kasus korupsi. Hal itu ia tuangkan dalam lirik lagu yang berjudul “Koruptor dan Narkoba”.
Usulan tersebut juga pernah menjadi fatwa PBNU bahwa korupsi adalah haram dan pelakunya harus dihukum mati, pengusutan tuntas dan hukuman mati bagi koruptor juga merupakan tuntutan yang selalu diteriakan oleh mahasiswa di hampir setiap demonstrasi. Terbukti bahwa masyarakat saat ini sudah se-iya se-kata dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bahwa untuk membuat jera para pelakunya dibutuhkan penindakan yang tegas berupa hukuman yang berat bahkan hukuman mati bagi kejahatan sistematis tersebut, sayangnya hingga saat ini belum ada sinyal terang dari pemerintah atas hal ini.
Presiden jokowi sendiri Saat ditanya apakah akan ada revisi undang-undang yang mengatur hukuman mati kepada koruptor hanya memberi jawaban sekenanya "Saya bukan orang yang memutus undang-undang. UU-nya kan enggak sampai sana," jawab Jokowi seusai melakukan pertemuan dengan PP muhammadiyah pada Rabu (24/12/2014).
Pernyataan berbeda datang dari Anggota Komisi III DPR Al Muzzammil Yusuf mengatakan, jika tidak benar kalau tidak ada UU yang mengatur soal hukum mati koruptor. Menurut dia, Undang-Undang telah mengatur hukuman mati bagi korupsi, teroris dan narkoba. “UU Tipikor ada hukuman mati bagi koruptor, bandar narkoba dan teroris. Kalau dikatakan tidak ada dalam UU itu salah, Kalau ada tuntunan dia bisa jadi (koruptor dihukum mati).
UU-nya kan sudah ada, narkoba koruptor ada hukuman mati masih berlaku Kalau tetapi jika hakim tidak menuntut mati ya tidak jadi. Presiden hanya bisa berikan grasi, kalau diberikan ya sama saja enggak jadi hukuman mati” Dilema juga terjadi ketika ternyata banyak dari vonis tindak pidana korupsi yang sangat rendah dan tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat, Dalam konferensi pers yang diadakan di Kantor ICW, Kalibata Selasa, (18/8/2015), staf Divisi Hukum dan Monitoring, Peradilan ICW Aradila Caesar, menyatakan, tren vonis kali ini lebih ringan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 2 tahun 9 bulan.
Kecenderungan tersebut dinilai masih rendah dibanding tren pada semester I tahun 2014, Yaitu hukuman 1-4 tahun sebanyak 163 terdakwa. Pada vonis sedang dengan masa hukuman 4-10 tahun hanya mengenai 24 terdakwa, hukuman lebih dari 10 tahun hanya diberikan kepada tiga terdakwa, dua terdakwa tidak terdeteksi dan 28 terdakwa telah divonis bebas. (Antikorupsi.org) pada akhirnya ketukan palu hakim pun dinilai kurang memuaskan bagi masyarakat dan kembali menimbulkan perdebatan sehingga muncul desakan untuk memberikan vonis yang jauh lebih berat lagi.
Secara tidak sadar masalah korupsi ini telah menimbulkan komunikasi politik antara masyarakat dan penyelenggara Negara, Persoalan ini akhirnya menghidupkan komunikasi politik dengan segala unsur-unsurnya yaitu pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Yang dalam penyelenggaraan suatu Negara sangat penting bagi kesinambungan pembangunan dimana yang memerintah dan yang diperintah saling berkomunikasi untuk kemudian sama-sama mencari solusi persoalan tersebut “All of the functions performed in the political system—political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication—are performed by means of communication.” (Maswadi Rauf: 1990) kutipan diatas menunjukan bahwa kebijakan dibuat oleh pemerintah terjadi ketika 6 fungsi komunikasi saling dijalankan.
Namun sekali lagi sangat disayangkan Semua kalangan masyarakat seakan saling lempar tanggung jawab terkait wacana tersebut, Rakyat melempar ke pemerintah, pemerintah melempar ke Anggota dewan, anggota dewan melempar ke hakim, dan akhirnya beberapa putusan hakim yang dianggap kontroversial membuat masyarakat kembali geleng geleng kepala.