[caption id="attachment_317708" align="alignnone" width="453" caption="Hutan yang dibakar"][/caption]
Terhitung mulai 20 Februari s.d 11 Maret 2014, ada 3.101 titik api terdeteksi NASA di propinsi Riau. Data itu dirilis oleh World Resource Instituteyang kali ini dibantu oleh Active Fire Data, sebuah badan milik NASA.
Sebagian terbesar titik api berada di lahan hutan yang akan dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Ada pun luas lahan perkebunan sawit di Riau, pada 2012 telah merambah lahan hutan seluas seperempat luas daratan Riau, atau bertengger pada angka 2.372.402 hektare. Diduga, pada 2014 ini, luasan itu telah bertambah secara signifikan.
Mayoritas hutan yang disulap menjadi lahan perkebunan sawit tadi, dikuasai oleh beberapa perusahaan milik konglomerat swasta nasional dan pengusaha asal Malaysia.
Di antara perusahaan kaliber itu tercatat nama Sampoerna Agro, Wilmar dan Sinar Mas.
Membuka lahan dengan cara membakarnya, adalah cara yang paling murah dan cepat untuk melakukan pembersihan lahan. Tetapi tentu cara tak terpuji ini akan menyebabkan kepulan asap yang tersebar menyelimuti Sumatera dan semenanjung Malaya.
Bencana disengaja yang akibatnya harus ditanggung orang banyak ini terjadi saban tahun. Sejauh ini belum ada tindakan yang cukup berbobot dari pihak pemerintah pusat mau pun daerah.
Para pengusaha besar yang dituduh membakar hutan itu tentu membantah. Mereka mengatakan bahwa orang lain yang melakukan pembakaran di lahan milik mereka. Padahal di lapangan terungkap, kayu-kayu kering sudah dikumpulkan siap untuk dibakar. Titik api yang tersebar di gunungan-gunungan kayu kering itu jelas membuktikan, bahwa pembakaran itu disengaja. Memangnya siapa yang mau bersusah payah mengumpulkan kayu-kayu tak terpakai, lalu membakarkan tumpukan kayu sisa penggundulan hutan di lahan milik orang lain itu? Orang gila paling bodoh sekali pun takkan mau melakukannya.
Hutan Indonesia mengalami deforestasi dan degradasi hutan tercepat di dunia. Menurut Guiness Book of Record, Indonesia mengalami 2% berkurangnya lahan hutannya pertahun.Aktor utama pengrusakan hutan Indonesia adalah sebuah kelompok bisnis berbasis sumber daya alam terbesar di dunia, Sinar Mas Grup. Perusahaan milik Eka Tjipta Wijaya.
[caption id="attachment_317709" align="alignnone" width="460" caption="Perusakan hutan"]
Di sektor kelapa sawit, Sinar mas memiliki lahan 406.000 hektar dan mengklaim diri sebagai perusahaan yang memiliki simpanan lahan kelapa sawit terbesar di dunia. Dengan lahan seluas 1,3 juta hektar, tersebar di Papua, Sumatera dan Kalimantan.
***
Tembak ditempat?
Aneh jika Menhut Zulkifli Hasan malah setuju dengan perintah Kapolri Jenderal Sutarman dan Panglima TNI Moeldoko, untuk menembak di tempat para pembakar hutan.
Menembak mati para pelaku pembakar hutan bukanlah sebuah solusi yang baik. Para pelaku di lapangan itu hanyalah kuli kelas jelata yang diperintahkan majikannya. Membunuh para kuli jelata ini tentu juga bukanlah hal yang bijak, mengingat masih ada atasannya yang bertanggung jawab.
Pertanyaannya, beranikah Polri menembak di tempat para konglomerat seperti Wilmar Martua Sitorus, Eka Tjipta Widjaja dan Putera Sampoerna, jika terbukti perusahaan milik mereka sengaja membakar lahan?
Jangankan menembak mereka, untuk kentut di depan mereka saja pun Kapolri dan Panglima TNI belum tentu berani.
Solusi terbaik adalah sesegera mungkin mencabut izin usaha perusahaan perkebunan yang terbukti membakar lahannya. Sita lahan jutaan hektar itu, lalu serahkan pengelolaannya kepada rakyat lewat program transmigrasi.
Rakyat Indonesia akan dengan senang hati bersedia membuka 3 hektar lahan pertanian baru di Riau atau di tempat lain. Mereka juga tidak akan keberatan jika harus membersihkan lahan tanpa api, dan jika harus membayar pajak 3 kali lipat dari yang dibayarkan konglomerat. Kenapa? Karena pajak penguasaan hutan dan izin usaha lahan yang dikenakan pemerintah itu sangat-sangat murah.
Meski pun sudah sangat murah, tak jarang perusahaan besar itu menolak untuk membayar pajak, dengan berbagai dalih bin alasan. Dan Sinar mas Grup adalah salah satunya (lihat artikel terdahulu).Ada pula perusahaan yang mengaku merugi, tapi di lain pihak melakukan perluasan areal perkebunan dengan cara membakar hutan.
Yustinus Prastowo, seorang peneliti perpajakan dari Perkumpulan Prakarsa menyebutkan, bahwa potensi pajak dari sektor perkebunan, pertanian dan kehutanan seharusnya mencapai 200 trilyun rupiah pertahun. Namun realisasinya tidak sampai 10 persen.
Banyak pengemplang pajak kelas kakap yang tetap lenggang kangkung di kantor pusatnya di Kuala Lumpur atau pun Singapore, diduga karena sudah berkolusi dengan pejabat terkait.
Sudah saatnya pemerintah berpihak kepada rakyat, buka cuma kepada segelintir pengusaha besar yang tak mengenal arti kelestarian lingkungan.
Pihak yang berwenang harus menegakkan keadilan atas kasus pembakaran hutan di Riau dan seluruh wilayah lain. Terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran, maka tindakan yang harus segera diambil adalah :
1.Menghukum penjara paling lama 6 bulan kepada pelaku pembakaran di lapangan.
2.Mencabut izin usaha perusahaan yang terbukti bersalah, menyita lahan bermasalah lalu membagikan tanahnya kepada jutaan rakyat miskin yang masih melarat dengan pola transmigrasi lokal dan regional, dengan pembagian 3 hektar untuk setiap KK.
3.Memenjarakan konglomerat kakap yang perusahaanya terbukti membakar lahan paling kurang selama 12 tahun tanpa pengurangan masa tahanan.
4.Mengembalikan fungsi hutan pada wilayah-wilayah yang masih bisa di konservasi.
5.Tidak mengeluarkan lagi izin perambahan hutan/konversi hutan menjadi perkebunankepada perusahaan.
6. Mencabut izin perusahaan pengemplang pajak dan menghukum para pihak yang harus bertanggung jawab, termasuk pemilik sejatinya. Lahan bekas perusahaa ini juga dihutankan kembali, dan lahan yang sudah berbentuk perkebunan, dibagikan kepada WNI yang menjadi eks karyawan perusahaan tersebut dan sisanya kepada rakyat Indonesia.
Jika saja jutaan hektar tanah milik bangsa ini dibagikan kepada rakyat, bukannya kepada konglomerat yang tak berwawasan sosial, maka kesejahteraan rakyat akan dengan mudah bisa dicapai. Pajak yang jauh lebih besar juga akan didapat, karena rakyat petani sawit tidak akan keberatan jika 10% uang penjualan TBS nya dikutip pemerintah sebagai pajak abadi.
Dan dengan bangga negara kita bisa memanggil pulang jutaan TKI kita dari luar negeri, diberi bantuan jatah hidup sementara lahannya menghasilkan, dan mereka akan bahagia dengan 3 hektar lahan sawit miliknya sendiri, hasil pemberian pemerintah yang peduli.
Sudah saatnya kita mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimana Tanah, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Atau dua dasar bernegara itu cuma akan jadi hiasan belaka?
Saatnya kita berontak melawan ketidakadilan yang terjadi saat ini. Berontak dengan damai, menuju satu Indonesia yang lebih baik, dimana rakyatnya lebih makmur.
***
Sumber foto dan referensi :
1.http://lampost.co/berita/perusahaan-perkebunan-kerap-rekayasa-pajak
3. http://news.liputan6.com/read/2026432/bencana-asap-riau-cabut-izin-bukan-tembak-di-tempat
4. http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1859
5. http://titialfakhairia.com/tag/greenpeace/
6. http://www.riaugreen.com/2014/03/pt-arara-abadi-diduga-sengaja-bakar.html
7. http://koran-indonesia.com/2013/06/sinar-mas-perusahaan-kami-tak-bakar-lahan-di-riau/
8. http://www.pajak.go.id/content/pembayaran-pajak
9.dll.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H