Palguna bukanlah komunitas yang mewariskan tradisi feodal seperti yang tertuang dalam jenjang perbahasaan antara orang tua dan anak. Dengan visi dasarnya, Palguna justru mengajak para orang tua untuk terus mau obah, tentu perubahan menuju sesuatu yang lebih baik. Para orang tua diajak untuk terus mau menggeluti pertanian sebagai mata pencaharian mulya, dan bukan memilih menjadi penambang pasir yang akan ikut merusak lingkungan walaupun profesi tersebut menawarkan kemudahan yang jauh melebihi. Para orang tua diajak untuk mau terus mengusahakan kehidupan. Palguna bukanlah mencoba mengajari, namun berupaya mengajak sembari memberikan contoh tentang bagaimana seharusnya orang tua mendedikasikan dirinya bagi kehidupan.
Pendidikan non formal kepada anak dilakukan Palguna melalui pembentukan Sanggar Anak Sapu Lidi. Beragam kegiatan hadir di sanggar tersebut: mulai dari aktivitas kesenian dan kewirausahaan yang diprakarsai oleh Kenty Krispadmi, hingga cara rembugan ala orang dewasa yang menanamkan arti demokrasi dan perkumpulan. Anak menjadi memahami, bahwa kunci demokrasi adalah mau mendengarkan dan bukan sekedar adu pendapat. Persis seperti harmonisasi dalam sebuah kelompok karawitan.
Puncak kegiatan bagi anak kemudian digelar Palguna pada acara Senyum Merapi. Agenda ini sesungguhnya hadir atas kebutuhan masyarakat paska erupsi Merapi di penghujung 2010, dimana tatanan sosial mengalami gejolak hingga berdampak pada rumah tangga. Senyum Merapi menjadi panggung bagi anak-anak untuk kembali bersama-sama setelah tercerai-berai mengungsi ke tempat lain. Bagi orang tua, Senyum Merapi menjadi gelar nyaosi sesuatu kepada sang anak. Bahwa sekeras apapun kehidupan, orang tua harus tetap tegak berdiri demi anak-anaknya.
Manusia, Lingkungan Hidup dan Harmonisasi
Lingkungan hidup merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dengan alam lereng gunung dan penghidupan yang bertumpu pada pertanian di Desa Sumber, lingkungan hidup menjadi bagian penting dalam aktivitas dan keseharian masyarakat. Air misalkan, begitu berlimpah di lingkungan lereng gunung. Namun, memahami penggunaan air tentu harus memahami aliran ke tempat yang lebih rendah: dimana kebutuhan air penduduk kota di bawah sangat bergantung pada penggunaan air di lereng gunung. Masyarakat lereng gunung harus memiliki pemahaman dasar semacam ini, agar tatanan dapat tetap terjaga demi masa depan seluruh pihak.
Kembali, didasarkan pada visinya, Palguna memberikan makna lingkungan hidup dalam hubungan saling mendengarkan. Eksplorasi dan eksploitasi alam seperti penambangan pasir tentu tak bisa dielakkan, karena pasir telah menjadi kebutuhan dasar, dimana pasir Merapi terkenal memiliki kualitas terbaik. Namun penambangan yang berlebihan dan tak memiliki dasar pertimbangan AMDAL tentu akan berdampak negatif terhadap banyak sendi kehidupan masyarakat. Telah ada pemerintah dan negara yang mengatur eksplorasi tersebut, dan Palguna percaya pemerintah dan negara berbuat yang terbaik untuk kepentingan semua pihak.
Di berbagai lokasi, penambangan pasir yang luar biasa menyisakan lahan mati. Palguna kemudian mengupayakan penghijauan di daerah tersebut dan beberapa lokasi lainnya di sekitaran Desa Sumber. Tujuannya jelas, menghidupkan kembali lahan agar bisa menjadi produktif: baik produktif dalam pengertian siklus alam dan kandungan air di dalam tanah, maupun produktif dalam pengertian penghidupan manusia. Palguna memahami, penghijauan bukanlah sebuah langkah dengan hasil yang bisa dinikmati sesaat. Butuh tahunan dan bahkan belasan tahun untuk dapat mengembalikan produktifitas lahan agar dapat kembali seperti fungsinya.
Di berbagai kesempatan acara, konsep caosan juga dituangkan dalam bentuk-bentuk persembahan alam. Gunungan hasil bumi misalkan. Selain pemanis ritual yang diarak keliling desa, gunungan hasil bumi yang tersusun rapi memberikan makna tunggal tentang persembahan dari manusia atas alam yang dikelolanya untuk dihaturkan kepada Tuhan YME yang terwujud melalui alam semesta. Dasar-dasar harmoni semacam inilah yang sesungguhnya menjadi batu pijakan Palguna dalam membangun hubungan diri dengan sesuatu di luar dirinya: baik itu Tuhan YME, alam semesta, maupun sesama lainnya.
Kesenian dan Kebudayaan Sebagai Tontontan dan Tuntunan
Kekhasan yang paling terlihat pada masyarakat lereng Merapi adalah pewarisan kesenian. Ragam bentuk kesenian yang muncul di tengah-tengah masyarakat merupakan sesuatu yang nyata; dimana hampir setiap dusun memiliki kelompok seni pertunjukan.
Seni Campur misalkan. Bentuk kesenian lapangan ini memiliki makna yang begitu mendalam. Beberapa barisan terbagi dalam kelompok lingkaran: mulai dari raja di pusat hingga butho di barisan paling luar. Raja bergerak begitu anggun dan terurai; kethek hadir sebagai primata satu tingkat di bawah spesies manusia; sementara butho menarikan gerakan liar yang bahkan menjurus merusak. Penonton diberikan suguhan gelak tawa atas tingkah kethek dan butho, dimana pilihan sesungguhnya untuk menjalani kehidupan diri-pribadi ada di keseluruhan pertunjukan. Menjadi raja yang bergerak seperti manusia ala kadarnya, atau menjadi butho yang punya kecenderungan merusak tatanan. Hidup adalah pilihan.