(Untuk mengenal Palguna Lereng Merapi agar dapat memahami tulisan ini, silahkan lihat www.cakrapalguna.org)
Sebagai komunitas yang berkeinginan membangun diri dan sekitarnya, Palguna Lerang Merapi (untuk kemudian saya sebut sebagai Palguna saja) mengupayakan berbagai macam kegiatan yang didasari pada visi besar yang diusung. Falsafah "Hangesti Budi, Makartining Jati Diri, Hangayu-Hayu Nuswantara. Manunggaling Kawula Gusti" mendasari Palguna untuk membangun relasi, baik di tingkat dalam maupun dengan interaksi keluar.
Visi ini diemban bukan tanpa dasar. Untuk membangun sebuah keluarga, sebuah entitas masyarakat, sebuah bangsa-negara, sebuah dunia, dibutuhkan insan yang dapat mengerti dan memahami aspek-aspek kehidupan. Kapan harus berusaha, kapan harus menerima, kapan harus merasakan dan bagaimana pikiran seharusnya terbangun. Dasar ini sesungguhnya sejalan dengan konsep kehendak bebas (free will) yang kerap dimunculkan sebagai keunggulan manusia dalam mengelola alam dunianya. Falsafah Palguna itu kemudian mendasari semua tingkah dan perilaku ke dalam sebuah pencapaian dan tujuan yang lebih mulia: berbahagia atas kebahagiaan bersama.
Berpasrah misalkan. Konsep ini kerap menyandera dasar falsafah tradisi ke dalam cara berpikir fatalisme: menerima dan menyerah. Kita kemudian lupa, bahwa berpasrah sangat erat kaitannya dengan penemuan diri atas kehendak Ilahiah yang berkarya dalam diri dan perjalanan hidup manusia. Kun Fayakun, atau dikenal juga dengan istilah nrimo ing pandum, atau mungkin sederhananya pemahaman "terjadilah menurut kehendak-Mu", justru menegaskan betapa kepasrahan adalah sebuah cara manusia untuk kembali menemukan kebaikan dan kebajikan yang dititipkan dalam dirinya oleh kehidupan. Dari titik berpikir dan merasakan inilah, Palguna mencoba memberangkatkan diri dan menerbangkan keinginannya tentang bagaimana sesungguhnya berkah dan rahmat kehidupan di muka bumi harus terajut antara satu dengan lainnya.
Caosan
Caosan, atau dapat diartikan sebagai mempersembahkan, adalah satu kerangka dasar Palguna dalam menjalin hubungan dan interaksi dengan siapapun. Dengan dasar persembahan, kerelaan menjadi sebuah aspek yang sangat menentukan, dimana tak seorangpun dapat mengukur tingkat kerelaan selain dirinya dan Tuhan YME yang terwujud pada alam semesta.
Di berbagai kesempatan, caosan difigurkan ke dalam ritual budaya. Tutup Suran misalnya, kegiatan ritual budaya rutin tahunan yang melegakan bulan pembuka Suro dalam penanggalan Jawa. Tutup Suran dianggap penting, tak hanya kerelaan dan niat yang dibawa sebagai bekal setiap orang untuk ikut aktif berperan dalam kegiatan tersebut, namun ritual budaya ini juga menjadi tanda pembaca dari petanda alam semesta untuk perjalanan satu tahun ke depan. Ngalap berkah di penghujung acara menjadi semacam parodi kehidupan yang bisa ditertawakan bersama-sama. Ada kebersamaan, ada kekeluargaan antara satu dengan lainnya.
Dengan mendasarkan pada konsep caosan diri ini, Palguna mengupayakan satu tingkat yang lebih besar lagi selain diri sendiri: keluarga. Bagaimana membangun keluarga yang harmonis, yang saling mengerti kekurangan dan kelebihan, yang saling mau berusaha dan berupaya yang terbaik, dan bahkan rela mengorbankan diri dan kepentingan diri demi masa depan keluarga. Ini menjadi modal bagi setiap insan untuk melihat sesuatu yang lebih besar lagi: masyarakat, bangsa, negara, dan kemudian dunia beserta seluruh isinya.
Pendidikan Anak
Satu hal yang menjadi perhatian khusus Palguna adalah pendidikan anak. Dengan segala kelebihan, keterbatasan dan kekhasannya, anak merupakan titipan dari Tuhan YME. Pendidikan menjadi bagian penting bagi sang anak untuk memiliki modal menjalani kehidupannya di hari-hari mendatang. Dan kunci untuk dapat mendidik bukanlah apa yang diajarkan dan diberikan seperti layaknya pendidikan formal di sekolah, namun apa yang bisa dipernyatakan dan dicontohkan kepada sang anak pada pengalaman kesehariannya.
Figuritas orang tua, keluarga dan lingkungan menjadi faktor penting pertumbuhan fisik dan psikis sang anak. Anak merekam kehidupan di sekitarnya untuk kemudian mencoba merangkai kehidupan yang akan dijalaninya ke depan. Cita-cita kehidupan, pengetahuan tentang kesehatan, penghidupan dan pekerjaan orang tua, budaya dan etika moral, atau sekedar ucapan sehari-hari orang tua di dalam rumah; tentu menjadi hal penting bagi sang anak dalam melihat apa dan bagaimana makna perjalanan kehidupan yang membentang di hari depan.