Diumumkannya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) per tanggal 18 Nopember 2014 menyisakan beragam tanggapan. Saya tidak akan mengajak Anda untuk menggunjingkan pro-kontra dan simpati-sindiran yang dialamatkan kepada Pemerintah Jokowi selaku penanggung jawab kebijakan kenaikan. Saya akan mencoba membawa wacana BBM sebagai komoditas baru yang memiliki nilai ekonomis sekaligus nilai politis.
Tengah malam tadi, saat Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan, saya berada di sekitaran perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Awalnya saya tak mengetahui pengumuman itu, hingga sekitar jam 22-an, antrian SPBU mengular hingga ke pinggir jalan. Saya bersama beberapa kawan yang berada dalam mobil kontan mencari informasi lewat media sosial. Benar saja, BBM telah naik harga.
Dengan perjalanan menuju Jakarta yang masih menyisakan 300-an kilometer, kami tentu langsung memutuskan untuk ikut dalam antrian SPBU dan melakukan pengisian hingga tangki mobil penuh. Saat mengantri, saya menjumpai beragam kendaraan, sebagian besar didominasi kendaraan pribadi roda dua dan roda empat. Kemudian saya berpikir, mengapa roda dua ikut-ikutan dalam antrian yang bisa memakan waktu berjam-jam? Saya pengguna sepeda motor, dan saya sangat mengetahui batas maksimum tangki roda dua.
Di sela-sela antrian, saya turun dari mobil dan berjalan menjauhi SPBU. Menyulut rokok sebentar, kemudian mendekati seorang bapak setengah baya yang juga merokok dan sedang menunggu anaknya di antrian sepeda motor. Mereka tinggal kira-kira lima kilometer dari SPBU, dan langsung meluncur untuk mengisi bensin segera setelah Jokowi mengumumkan kenaikan.
Saya berpikir keras, kemudian bertanya dengan polosnya.
"Motornya apa, pak?"
"Itu, Honda, mas."
"Full-nya berapa liter, pak?"
"Ngga tau saya. Tapi kalo isi 20 ribu biasanya penuh, bisa buat beberapa hari."
Dengan premium per liter Rp.6.500, kalkulasi sederhananya 3 liter lebih sedikit. Dengan kapasitas tangki 3,3 liter, tentu bensin akan terisi hampir penuh.
Saya terdiam sejenak. Kalkulasi sederhana itu tampak sangat telanjang. Bapak itu bersama anaknya rela keluar rumah jam 22 sejauh lima kilometer hanya untuk melakukan pengiritan enam ribu rupiah. Sementara sang bapak sedang merokok dengan rokok merk tertentu, pastinya ada pengeluaran minimum lima ribu rupiah sehari untuk rokok tersebut.
Kemudian saya mencoba melihat dengan lebih luas. Nilai ekonomis sebuah barang ditentukan dari nilai tukar, dan atau nilai guna. Nilai tukar BBM ditentukan oleh basis produksi minyak mentah dan nilai kurs untuk mengukur harga per barrel dalam satuan dolar Amerika. Sementara nilai guna diukur dari nilai fungsi dan kebutuhan pasar akan BBM; tentunya nilai ini menjadi faktor utama pemicu keriuhan setiap kali harga jual BBM dinaikkan.
Yang menjadi permasalahan buat saya, kedua nilai tersebut tidak menyentuh langsung aksi dan tindakan sang bapak yang berusaha melakukan efisiensi tak berdasar tersebut. Ia rela menempuh perjalanan yang tak dekat; mengantri dengan hitungan jam; melakukan satu kali efisiensi uang sejumlah Rp.6.000 untuk beberapa hari ke depan; sementara ia melakukan pengeluaran per hari lebih dari Rp.2.000 untuk rokok.
Bukan persoalan kesehatan atau UU tembakau yang saya perhatikan di sini. Saya pun penikmat waktu dengan merokok. Persoalannya, nilai apa yang kemudian membuat komoditas BBM ini memiliki fenomena yang tak masuk dalam pendekatan standar ekonomi sebuah barang?
Kita bisa berdebat panjang untuk melekatkan beragam nilai untuk menjawab hal ini. Sebagian bisa menyebut karena kurangnya pendidikan dan pengetahuan; sebagian lagi meng-klaim peran media yang meledakkan isu BBM hingga ke puncak tertinggi; sebagian lagi mengatakan masyarakat kita yang masih histeris dan latah dengan perubahan.
Saya lebih suka melekatkan nilai politis dalam komoditas BBM ini sebagai pemicu dasarnya. Mengapa demikian? Karakter sistem politik kita menyebabkan penggunaan isu sebagai cara untuk menaikkan popularitas, atau bahkan menyandera sistem politik itu sendiri. BBM sendiri merupakan komoditas ekonomis yang diatur oleh otoritas politik, tentu akan sangat bergantung dengan arah kebijakan dan partitur politik yang sedang dimainkan. Lewat media kemudian isu politik ini bergulir.
Dalam masyarakat politik, isu ini bisa berkembang berjalan ke arah determinatif. Pemanggilan Presiden oleh DPR tentu akan membuat nilai politis BBM semakin menjulang tinggi. Lalu, apa yang berimbas pada masyarakat umum atas menjulangnya nilai politis BBM ini?
Aksi dan tindakan ekonomis dari kisah sang bapak hanya satu dari berbagai reaksi tanpa nalar yang menggejala. Bisa jadi, seorang dukun akan memanfaatkan isu ini, mengatakan bahwa BBM yang ia jual punya kemampuan membuat rasio pembakaran menjadi lebih irit. Apakah ada hubungannya? Masyarakat histeris tak memerlukan hubungan klausal dalam melihat fenomena.
Tugas kita semua untuk mengembalikan cara pandang komoditas pada tempatnya, agar tak ada histeria tanpa nalar yang terus direproduksi dalam budaya masyarakat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H