Pemilihan M Prasetyo menjadi Jaksa Agung tentu mendapat tanggapan beragam. Berbagai keberatan merujuk pada jabatan Jaksa Agung hendaknya lepas dari kepentingan politik partai pendukung. Mengingat ranah hukum sangat sarat kepentingan politik. Maka Jaksa Agung yang dianggap akan lebih baik jika diduduki oleh orang profeional, pejabat karir dan tentunya bukan dari partai politik. Namun, fakta sudah berkata lain. M Prasetyo, yang juga merupakan politisi dari Partai Nasdem dipilih Jokowi untuk menduduki kursi panas tersebut.
Saya sendiri melihat ini sebagai keunggulan lobi dari Partai Nasdem terutama Surya Paloh. Tidak mungkin Jokowi menyerahkan jabatan Jaksa Agung tanpa ada desakan-tarik menarik antar kepentingan partai pendukung. Jika dirunut jauh kebelakang, diawali dari kekalahan di Munas Partai Golkar, Surya Paloh keluar dari Partai pohon beringin. Lalu membentuk dan menggawangi lahir dan berkembangnya Ormas Nasional Demokrat-berlanjut ke Partai Nasdem. Hal ini sebenarnya sudah merupakan atau setidaknya beririsan dengan kepentingan Jusuf Kalla yang masih beroperasi di dalam Partai Golkar.
Semakin jelas ketika dalam kampanye pileg, nama Jusuf Kalla pun santer disuarakan oleh Partai Nasdem. Perkawanan SP dan JK mengalami masa reuni ketika KIH mengusung pasangan Jokowi-JK dalam perhelatan pilpres. JK juga ditengarai beroperasi didalam tubuh PKB, yang juga mencalonkan namanya disamping Mahfud MD dan Rhoma Irama. Tentu ada gelontoran dana kampanye untuk mengabarkan kepada konstituen perihal hal tersebut. Dalam penyusunan kabinet pun kekuatan JK dan Nasdem mampu meredam PKB dengan cerdiknya. Intensitas pertemuan SP dengan Jokowi-Mega pun semakin kencang. Sangat jauh terasa bila dibandingkan dengan intensitas Muhaimin Iskandar bertemu dengan Jokowi-Mega-JK. Disinilah kelihaian SP yang kebetulan juga memberi back up maksimal lewat media group-sesuatu yang tidak dipunyai PDIP and the gank…Pada saat bersamaan, Jokowi secara perlahan ingin keluar dari bayang-bayang Megawati untuk kemudian membangun dinastinya sendiri. Hal ini sudah menjadi sifat alamiah membangun kekuasaan.
Lalu hal itu kini terbukti dengan ditunjuknya politisi Nasdem memegang pucuk pimpinan Jaksa Agung. Kekuatan dalam kabinet pun semakin berimbang dari masing-masing kubu PDIP - PKB – Nasdem. Meski PDIP memperoleh suara terbanyak dalam pileg namun kabinet kerja adalah kabinetnya Jokowi. Mengurangi campur tangan partai dalam urusan pemerintahan, seraya menggalang kekuatan lewat partai Koalisi untuk menancapkan patron politik ala Jokowi. Apakah ini akan efektif dalam menjalankan roda pemerintahan? Terutama dalam penegakan hukum?
Jokowi diperkirakan akan memanfaatkan efek kekecewaan dari pegiat anti korupsi yang akan berbicara keras dalam beberapa waktu kedepan. Teriakan para pegiat anti korupsi ini akan difasilitasi dan dibebankan kepada Jaksa Agung terpilih sekaligus sebagai kendali Jokowi kepada M Prasetyo-Partai Nasdem. Sehingga tidak bisa seenaknya untuk membangun kekuatan baru yang akan mengganggu atau menyaingi gerbong Jokowi. Jika pada perjalanan nantinya mengecewakan maka pasti akan segera diganti dan untuk menunjukkan sikap tegas Presiden. Karena pengganti yang diidamkan sebenarnya sudah menanti, dialah Abraham Samad- yang masa jabatannya sebagai ketua KPK akan segera berakhir.
Memperbanyak porsi untuk professional duduk dalam kabinet sebenarnya adalah idealita dari Jokowi. Namun saat ini jalan masih penuh liku dan onak berduri untuk mewujudkannya. Perlu diingat, Jokowi punya tradisi bongkar pasang birokrasi tanpa ragu. Pejabat pemerintahan di Solo dan DKI pernah merasakannya, dan saya kira dalam lima tahun kedepan akan ada reshuffle sebagai bagian dari seni mengelola kekuasaan. Dititik itulah kekuatan Jokowi akan terlihat dan semakin bertambah. Karena pertarungan di 2019 adalah pertarungan memperebutkan posisi RI 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H