Agenda mitigasi perubahan iklim, masuk dalam agenda 21 global, agenda 21 nasional, dan agenda 21 daerah. Agenda 21 adalah terminologi sederhana, untuk menyebutkan visi abad 21, dimulai sejak tahun 2000-an. Perhatian dunia pada indikasi perubahan iklim tampak serius.
Paling tidak muncul berbagai forum, yang turut membahas dan memberi perhatian pada isu perubahan iklim. Terahir, Convention On Party ke-25 (COP25) dilangsungkan di Chile-Madrid, Spanyol. Bahkan kegiatan bertema "aksi nyata" untuk mencegah dampak perubahan iklim. Namun perlu diperhatikan, isu ini tidak mudah dipahami oleh masyarakat arus bawah secara langsung.
Apa saja yang harus menjadi fokus perhatian berkaitan dengan agenda 21? Secara sederhana gejala/indikasi perubahan iklim terjadi dalam skala global. Laporan terakhir beberapa lembaga dunia, kenaikan rata-rata suhu global mencapai 1,10 Celcius. Sementara angka maksimum Batasan yang diinginkan dunia, maksimal pada angka 20 Celcius. Fokus perhatian selanjutnya, bukan pada besaran kenaikan angka suhu rata-rata global, tetapi pada proyeksi ke depan. Beberapa pakar menyebutkan 70 tahun mendatang kemungkinkan kenaikan suhu rata-rata global mencapai 40 Celcius.
Lalu apa yang harus dilakukan warga dunia secara bersama? Sebelum memulai pada keinginan untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu terlebih dahulu dipahami sistem global, yang menyebabkan kenaikan suhu rata-rata di permukaan bumi. Kenaikan aktivitas manusia dalam memanfaatkan bahan bakar fosil dan benda lainnya, menyebabkan konsentrasi gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, dan SF6) di atmosfer bumi meningkat.
Peningkatan gas rumah kaca ini menyebabkan suhu rata-rata di bumi juga mengalami kenaikan, yang disebut pemanasan global. Indikasi berikutnya, iklim secara global turut berubah ditandai dengan kenaikan suhu rata-rata bumi, yang semakin meningkat dibandung awal abad industri.
Perubahan lingkungan global telah berlangsung masif, sejak revolusi industri terjadi di Eropa pada awal abad 18. Revolusi industri memaksa dunia memproduksi bahan pangan dan barang lainnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Di samping itu, desakan pertumbuhan penduduk di semua negara, memaksa masing-masing negara meningkatkan produksi pangannya.
Pembukaan lahan untuk aktivitas pertanian berlangsung masif di seluruh dunia. Penggunaan teknologi dan mesin-mesin hasil temuan baru juga mendorong perubahan lingkungan hidup global berlangsung masif, semua untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Indonesia juga mengalami dampak dari perubahan global tersebut. Lingkungan alamiah pulau Jawa misalnya, semula adalah hutan, namun pendatang dari India dan Asia Selatan memaksa penduduk menanam padi, yang sejatinya bukan tanaman asli tropis. Secara tidak sadar, penduduk telah mengubah lingkungan alamiah tempat tinggalnya.
Kondisi alamiah yang semula berupa tanaman hutan yang beragam (polikultur), harus diganti dengan jenis tanaman budidaya seragam (monokultur), sejenis tanaman padi dan jagung. Dampaknya luar biasa, hampir seluruh dataran rendah Jawa, utamanya bagian utara menjadi persawahan, sehingga kehilangan keberagaman jenis vegetasinya.
Lalu pada era pemerintah kolonial, pola tanam monokultur terus berlanjut, disambung dengan tanam paksa, beberapa jenis vegetasi, yang tidak semuanya ramah lingkungan. Beberapa diantara jenis tanaman yang tidak berkambium, misalnya tembakau yang ditanam di perbukitan. Tentu, kondisi ini merubah bentang lahan dan tutupan vegetasi secara masif. Dampaknya, perubahan lahan dan tutupan vegetasinya berlangsung sangat masif. Lingkungan hidup di pulau Jawa menjadi semakin terdesak.
Pada Era modern, lebih parah lagi. Industrialisasi masuk ke Jawa, sebagai pusat dari aktivitas ekonomi dan pemerintahan. Beberapa industri tumbuh di berbagai lokasi di Jawa, dengan memaksa alih fungsi lahan, dari tutupan vegetasi (tanaman budidaya) ke lahan terbangun. Situasi yang makin mempercepat dorongan akan tumbuhnya lingkungan yang tidak alamiah, yang tidak diimbangi dengan perluasan hutan, atau perluasan area pertanian berjenis tanaman hutan.