Mohon tunggu...
Pedro Indharto
Pedro Indharto Mohon Tunggu... -

Reserch and Humans Activity

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jogja Rumah Bersama Berhati Nyaman

30 November 2015   20:26 Diperbarui: 30 November 2015   20:26 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari dengan multikulturalisme ini kita menjunjung tinggi kebudayaan kita, perekat kita adalah rasa saling bisa menghormati satu dengan yang lain dan saling toleransi. Sebagaimana kita bisa menjunjung budaya nasional kita. Perbedaan adalah perekat bukan pemecah kebersamaan dan persatuan. Mari kita saling hormat menghormati dan saling menghargai. Sebagai rumah bersama mari kita jaga untuk saling memiliki. Dengan adanya masalah politik, ekonomi dan sosial kiranya tidak melunturkan kebersamaan kita, berikut ajakan Bapak Camat Gedong Tengen dalam pembukaan Sarasehan budaya “Jogja Rumah Bersama Berhati Nyaman”, Sabtu 28 november 2015.

Dalam sarasehan lintas budaya ini, menghadirkan perwakilan 3 (tiga) Daerah yang membahas tentang permasalahan dan solusi Multikulture di Jogjakarta yang antara lain sebagai pemantik diskusinya sebagai berikut :

  1. Roy Karoba (Perwakilan warga Papua).
  2. Glorius Umbu Deta (Perwakilan warga Sumba).
  3. Indianto (Tokoh Lintas Iman Yogyakarta).

Ada beberapa masalah multikulture yang pernah terjadi di Jogja, salah satunya Kekerasan yang terjadi 3 bulan yang lalu, peristiwa kekerasan yang mengakibatkan kematian warga didepan kampus APMD yang melibatkan warga Papua, melalui forum  sarasehan ini masyarakat diajak urun rembug  membedah latar belakang masalah sehingga kita bisa saling memahami dan mengedepankan dialog nir kekerasan.

Masyarakat Sumba, Jogja dan Papua yang terlibat dalam sarasehan ini, selain mendapatkan pemahaman mengenai permasalahan sosial yang terjadi juga berkesempatan mencicipi sajian tarian dari ketiga daerah, Sumba dengan tari Haruma, Jogja dengan Jathilan dan Papua dengan teaterikal pinangan calon pengantinnya. Pertunjukan seni yang ditampilkan dari ketiga wilayah memunculkan rasa orisinilnya, misalnya kelompok tari Papua yang hanya menggunakan koteka dalam pertunjukannya, tentu saja hal ini memancing kelompok lain untuk bisa lebih memahami budaya Papua.

Glorius Umbu Deta menjelaskan muasal tarian Haruma, dimana merupakan tarian perang dan pada saat ini di Sumba digunakan sebagai tari penyambutan tamu. Glorius atau yang acap dipanggil Ori mengutarakan permasalahan yang selama ini terjadi dikalangan Mahasiwa Sumba, karna ada beberapa Oknum orang Sumba yang terlibat masalah kekerasan di Jogja, akhirnya banyak warga Sumba yang kesulitan mencari Kost/kontrakan di Jogja, tentu saja keadaan ini memberatkan bagi adik-adik mahasiswa Sumba yang benar-benar bertujuan sukses mengenyam pendidikan di Jogja. Kami merindukan kehidupan yang harmoni dan interaksi yang hangat. Kami banyak belajar dari kota ini, kami telah jatuh cinta dengan kota ini. Ketika kami diminta untuk hadir disini, maka merupakan kebanggaan kami.  Kita harus belajar dari budaya, saya kira tidak ada budaya yang menganjurkan untuk membuat kerusuhan, terang Ori.

Roy Karoba perwakilan dari Kelompok Papua menjelaskan, bahwa selama hampir 5 tahun di Jogja.  Ia merasa nyaman, namun belakangan ini ada sedikit masalah yang membuat kelompok Papua resah oleh karena tindakan beberapa oknum dari kawan Papua yang melakukan tindak kekerasan. Saya pribadi dan mewakili kawan-kawan Papua meminta maaf yang sebesar besarnya. Dengan komunikasi seperti ini harapan kami tidak akan terjadi lagi. Saya mencoba pulang ke Papua tapi tidak betah disana, saya sudah cinta jogja. Namun itulah daya tarik yang kami rasakan dari kota Jogja. Saat ini kami begitu susah mencari tempat tinggal/kost yang dikarenakan tingkah laku dari oknum-oknum oknum yang mencederai relasi masyarakat Papua dengan Jogja.

Urun Rembug, permasalahan relasi sosial warga Jogja dengan para pendatang membuat salah satu  anggota DPR Provinsi, Pak Chang mengusulkan bahwa kegiatan sarasehan lintas budaya seperti ini harus dikembangkan keberbagai wilayah di DIY.

Perbedaan ada karena kita ada. Mari kita jadikan budaya menjadi alat untuk mempersatukan kita. Terimakasih untuk warga Jogja yang sudah mau menerima kami. Mari kita menjaga Jogja bersama-sama. Jangan melihat kami dari luar, apalagi dari penampilan kami. Kalau kami diperlakukan dengan baik, kami akan jauh lebih baik, cetus Ori yang diamini oleh Roy karoba.

Terselenggaranya Sarasehan lintas budaya dengan lancar meyakinkan bahwa Jogja sebagai rumah bersama tetap berhati nyaman. Mari kita jaga Jogja sebagai rumah bersama, kalau terjadi pergesekan,  kita selesaikan dengan damai tanpa kekerasan, ujar Pedro Indharto Ketua TARANESIA sebagai penyelenggara kegitan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun