Mohon tunggu...
Pecinta Nabi
Pecinta Nabi Mohon Tunggu... -

merdeka!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berharganya Waktu

19 Maret 2013   01:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:32 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ


“Dua kenikmatan yang sering dilupakan kebanyakan manusia: kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari, no: 5933)

Dalam hadits ini Rasulullah mengabarkan 2 nikmat yang sering dilalaikan manusia, padahal keduanya begitu berharga:

Pertama : Nikmat Sehat

Kalau seseorang sedang sakit, ia akan merasa tidak enak. Walaupun hartanya berlimpah.

Makanya kesehatan itu nikmat yang berharga. Dengan sehat kita bisa beribadah dan menambah nikmat Allah, yakni bisa mencari nafkah dan menikmati hidup.

Kedua : Nikmat Waktu Senggang

Kedua : Nikmat Waktu Senggang

Berapa banyak orang yang melalaikan waktu senggangnya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat baginya. Melamun, ngerumpi, ngobrol ngalor-ngidul tidak ada isi. Habis waktunya tapi tidak bertambah pahalanya dan juga hartanya. Akhirat tidak ia gapai dan dunia pun tidak ia capai. Rugilah orang seperti itu.

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau sekedar numpang lewat. ” (HR. Bukhari)
Demikanlah Rasulullahصلى الله عليه وسلم memberi wasiat kepada Ibnu ‘Umarرضي الله عنهما . Wasiat yang begitu berguna. Nasehat yang sangat berharga.


Tatkala seorang asing atau pengembara atau musafir singgah di suatu tempat, akankah ia berlama-lama di tempat tersebut?


Mungkinkah pula di tempat yang disinggahinya itu ia membangun rumah yang besar dan megah serta diisi pula dengan perabotan rumah tangga yang mewah?


Tentu saja tidak. Karena, ia datang ke tempat itu hanya sekedar singgah untuk memenuhi hajatnya secukupnya atau untuk mengisi bekal guna melanjutkan perjalanannya lagi.


Maka, hendaknya demikian pula posisi seorang insan di dunia. Ia layaknya seorang musafir. Ia singgah di negeri yang fana ini sekedar memenuhi hajat  secukupnya dan menyiapkan bekal untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Perjalanan yang penuh aral melintang  menuju kampung halaman yang sesungguhnya. Kampung mukminin. Kampung anak Adam yang sebenarnya yaitu kampung akhirat.


http://adiya.net/?Hikmah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun