Salah satu pengalaman yang paling berkesan di Kolese Kanisius ini adalah aktivitas saya dalam ekstrakurikuler Canisius Wind Ensemble. Seperti namanya, ekskul ini berkarya dalam dunia musik, terutama dalam hal ansambel. Kekhasan dari ansambel ini adalah jenis alat musik yang sebagian besar terdiri dari alat musik tiup. Alat musik tiup ini pun bisa dibagi lagi menjadi brass dan woodwind. Kami tidak hanya belajar mengenai cara bermain musik, tapi cara bermain musik dalam suatu kelompok.
Walaupun aktivitas utama kami adalah bermain musik, ada tujuan lain dari ekskul ini. Pendiri ekskul CWE, Pater Bas, mengatakan bahwa anggota CWE tidak cukup bermain musik bersama dengan harmonis. Namun, mereka juga harus bisa berdinamika dengan harmonis dalam suatu komunitas. Bermain musik itu nomor 2 dibandingkan dengan nilai-nilai human excellence yang didapat dari CWE.
Saya merasa bangga dan bersyukur karena bisa menghabiskan waktu hampir 6 tahun bersama ekskul ini. Pasang dan surut sudah saya lalui dalam komunitas ini. Ada saatnya ketika saya merasa ingin keluar dari CWE ini. Saya sempat merasa menyesal berpartisipasi dalam ekskul ini. Pada kenyataannya, awalnya saya hanya mengikuti CWE karena tidak ada pilihan lain. Saya berencana akan pindah ekskul ketika ada tempat yang terbuka. Akan tetapi, wacana tersebut tak kunjung datang. Rasanya juga saya sudah membuang kesempatan ekskul ini untuk mengikuti apa yang saya inginkan. CWE ini hanya menghalangi saya saja.
Waktu berlalu dan tanpa saya ketahui saya sudah berada dalam tim ansambel utama. Ketika saya bermain untuk pertama kali, saya bisa merasa harmoni tidak hanya dari alunan musik, tetapi juga sinergi pemain-pemainnya. Saya juga melihat senior-senior saya yang bisa bermain dengan begitu rapi. Sejak saat itu, saya beraspirasi untuk bisa bermain seperti mereka.
Untuk waktu yang lama saya berlatih bermain lagu-lagu. Saya akan berlatih di luar jam ekskul dan mencoba merekam diri saya saat bermain untuk melihat perkembangan saya. Akan tetapi, saya tahu bahwa kemampuan individual tidak cukup untuk sebuah ansambel. Saya juga merekam permainan ansambel dan melihat apa yang kurang dari pertunjukan kami. Saya selalu mencoba untuk menjadi versi yang terbaik dalam ansambel.
Selama beberapa pertunjukan pertama di sekolah, semuanya berjalan dengan lancar. Saya bisa melihat perkembangan saya tidak hanya secara keterampilan tapi juga kepribadian. Saya menjadi lebih bertanggung jawab dan tekun untuk menjadi lebih terampil. Itu semua sampai kami ada pertunjukan di luar sekolah. Awalnya saya merasa gelisah karena takut tampil dengan buruk di depan banyak orang luar dan saya tidak hanya membawa nama CWE tetapi juga nama sekolah dalam pertunjukan seperti ini. Ketakutan tersebut terwujud saat bermain salah satu lagu kami, ketika not musik yang saya mainkan "keselip". Pemain lain juga ada kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan. Setelah pertunjukan, saya menyalahkan diri saya sendiri dan orang lain atas permainan yang buruk. Saya kecewa karena tidak bisa memberikan usaha yang lebih. Dalam keterpurukan ini, salah satu senior saya bilang bahwa kesalahan bukan menjadi alasan bagi kita untuk menyerah, melainkan untuk menjadi lebih baik di kemudian hari, untuk menjadi magis. Saya juga hanya memikirkan permainan saya sendiri, walaupun saya bermain dalam suatu ansambel. Menyalahkan orang lain bukan solusi untuk bisa berkembang sebagai suatu komunitas.
Setelah itu, saya memilih untuk menjadi kepribadian yang lebih tenang dan tidak hanya fokus pada kesalahan. Berbuat salah itu wajar, kita hanya bisa memilih untuk bangkit atau tetap di bawah. Seiring berjalannya waktu saya sendiri menjadi senior dengan junior yang mengandalkan saya juga. Saya ingin mengajari mereka juga bagaimana menjadi seseorang yang lebih magis. Mereka harus bisa tahu cara menyingkirkan pemikiran egois yang dulu saya miliki dan fokus pada perkembangan sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H